Kapolri Bela Perpol 10/2025 Di Tengah Sorotan Langgar Putusan MK

Sumber Foto: Dok. Divisi Humas Polri

WARTAALENGKA, Jakarta - Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menepis anggapan bahwa Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Perpol 10/2025 yang mengatur penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi, termasuk di 17 kementerian dan lembaga negara, dinilai sejumlah pihak melangkahi Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menegaskan bahwa anggota Polri yang akan menduduki jabatan sipil wajib mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu.

Listyo Sigit menyatakan, penerbitan Perpol 10/2025 justru lahir sebagai tindak lanjut atas putusan MK, bukan untuk menantangnya. Ia menegaskan bahwa proses penyusunannya tidak dilakukan sepihak. "Yang jelas Polri tentunya menghormati putusan MK. Oleh karena itu, Polri menindaklanjuti dengan melakukan konsultasi dengan kementerian terkait, dengan stakeholder terkait sebelum menerbitkan perpol," kata Listyo Sigit sebagaimana dilaporkan tim liputan KompasTV, Rabu 17 Desember 2025.

Menurut Kapolri, Perpol tersebut dipersiapkan sebagai kerangka awal yang nantinya akan dinaikkan menjadi peraturan pemerintah bahkan dimasukkan dalam revisi undang-undang. Ia juga tidak terlalu mempersoalkan kritik yang menilai aturan ini membangkang putusan MK. "Jadi perpol yang dibuat oleh Polri tentunya dilakukan dalam rangka menghormati dan menindaklanjuti putusan MK," ujarnya.

Menanggapi tudingan bahwa Perpol 10/2025 justru menabrak putusan MK dan menyalahi prinsip netralitas aparat dalam jabatan sipil, Listyo Sigit memilih merujuk kembali pada proses konsultasi yang diklaim telah dilakukan bersama kementerian dan lembaga terkait. "Biar saja yang bicara begitu. Yang jelas langkah yang dilakukan kepolisian sudah dikonsultasikan. Baik dengan kementerian terkait, stakeholder terkait, lembaga terkait, sehingga baru disusun perpol," ucapnya.

Meski demikian, di luar kepolisian, suara kritis datang dari kalangan ahli hukum tata negara. Guru Besar Fakultas Hukum UII Mahfud MD menilai Perpol 10/2025 justru bertentangan dengan ruh Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 dan norma dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Putusan MK menegaskan bahwa anggota Polri yang akan masuk institusi sipil harus lebih dulu berhenti atau pensiun dari kedinasan kepolisian.

"Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 (tentang Polri), yang menurut putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, anggota Polri jika akan masuk ke institusi sipil, maka harus minta pensiun atau berhenti dari Polri," kata Mahfud. Ia juga menilai Perpol 10/2025 tidak sejalan dengan Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengatur batasan penugasan anggota TNI dan Polri di jabatan ASN.

Polemik bertambah tajam setelah Ketua Komisi Reformasi Kepolisian, Jimly Asshiddiqie, mengungkap bahwa timnya sama sekali tidak dilibatkan dalam proses penyusunan Perpol 10/2025. Padahal, komisi tersebut dibentuk untuk mengawal agenda reformasi di tubuh kepolisian, termasuk soal penempatan anggota Polri di luar struktur organisasi resmi.

"Saya habis rapat bertiga kemudian pulang ke rumah, lalu saya mendapat WA (WhatsApp) tentang perpol itu," ujar Jimly di Posko Komisi Reformasi Polri, Jakarta Selatan, Kamis 18 Desember 2025. Ia mengaku langsung mengonfirmasi informasi tersebut kepada mantan Wakapolri Ahmad Dofiri yang juga anggota komisi. "Dia juga kaget. Jadi kami enggak tahu (proses pembuatan perpol)," kata Jimly.

Dalam rapat pleno komisi, Jimly mengaku sudah mengusulkan agar Komisi Reformasi Polri minimal diberi informasi jika Polri sedang menyusun aturan internal yang berpotensi memicu perdebatan publik, apalagi yang bersinggungan langsung dengan putusan MK dan prinsip netralitas aparat di jabatan sipil. Ia mengingatkan, kehadiran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai salah satu anggota komisi seharusnya bisa menjadi jembatan komunikasi agar dinamika seperti ini tidak kembali terjadi. "Ya, mudah-mudahan kejadian kemarin tidak terjadi lagi," ujarnya.

Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi mengatur bahwa polisi aktif dapat ditempatkan di 17 kementerian dan lembaga, mulai dari Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, hingga Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Selain itu, aturan ini juga menyentuh lembaga-lembaga strategis seperti Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber dan Sandi Negara, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi. Penugasan anggota Polri di lembaga-lembaga tersebut dapat mencakup jabatan manajerial maupun nonmanajerial.

Bagi pendukung Perpol 10/2025, kehadiran anggota Polri di berbagai kementerian dan lembaga dipandang dapat memperkuat fungsi penegakan hukum, intelijen, dan pengawasan di sektor-sektor yang rawan penyalahgunaan wewenang. Namun, bagi para pengkritik, aturan ini berisiko mengaburkan batas antara aparat penegak hukum dan struktur sipil, serta membuka ruang konflik kepentingan yang justru ingin dibatasi oleh Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 dan rezim hukum kepegawaian dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.

Polemik Perpol 10/2025 akhirnya bergerak di dua jalur sekaligus. Di satu sisi, Polri menegaskan bahwa semua langkah sudah melalui konsultasi dan dimaksudkan sebagai bentuk kepatuhan terhadap putusan MK. Di sisi lain, kritik tajam dari kalangan akademisi hukum dan Komisi Reformasi Polri mengingatkan bahwa penghormatan terhadap putusan MK bukan hanya soal prosedur, tetapi juga soal substansi. Perdebatan mengenai polisi aktif di jabatan sipil ini berpotensi menjadi ujian awal seberapa serius agenda reformasi kepolisian dijalankan dalam kerangka negara hukum. (WA)

Lebih baru Lebih lama