![]() |
| Sumber Foto: ANTARA/Erlangga Bregas Prakoso |
WARTAALENGKA, Jakarta - Presiden RI Prabowo Subianto
menanggapi derasnya desakan agar banjir dan longsor di Sumatera ditetapkan
sebagai darurat bencana nasional. Ia menegaskan pemerintah pusat masih mampu
menangani situasi tanpa perlu mengubah status bencana.
"Ada yang teriak-teriak ingin ini dinyatakan bencana
nasional. Kita sudah kerahkan, ini tiga provinsi dari 38 provinsi. Jadi,
situasi terkendali," kata
Prabowo saat membuka Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin
15 Desember 2025. Ia menambahkan bahwa perkembangan di lapangan terus ia pantau
dari hari ke hari bersama jajaran terkait.
Prabowo menjelaskan pemerintah sejak awal telah
menggerakkan berbagai instrumen untuk menangani banjir dan longsor di Aceh,
Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Penyaluran logistik darurat, penyediaan air
bersih, truk air minum, toilet portabel, perbaikan akses jalan, hingga
pemulihan jaringan listrik dan telekomunikasi disebut berjalan beriringan
dengan upaya evakuasi warga. Di sisi lain, pemerintah mulai menggeser fokus
dari penanganan darurat menuju pemulihan jangka menengah.
Kepala negara juga menekankan pentingnya penyiapan hunian
bagi korban terdampak. "Bahkan mungkin saya dapat laporan dari Menteri
Perumahan, ya, mungkin mulai hari Minggu ini kita sudah mulai membangun 2.000
rumah. Kemungkinan rumah ini bisa langsung jadi rumah tetap, ya,"
ujarnya. Pemerintah mendorong agar pembangunan hunian memanfaatkan lahan negara
dan dirancang agar tidak hanya bersifat sementara, tetapi menjadi bagian dari
penataan kembali kawasan pascabencana.
Untuk mempercepat rehabilitasi dan rekonstruksi, Prabowo
mengungkapkan rencana pembentukan satuan khusus yang akan fokus mengawal
pemulihan di wilayah terdampak, baik dalam bentuk badan maupun satuan tugas.
Satuan ini diharapkan menjadi simpul koordinasi antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan lembaga terkait dalam memetakan kebutuhan, mengawasi
proyek fisik, serta memastikan anggaran pemulihan tersalurkan tepat sasaran.
Prabowo juga menegaskan bahwa kemampuan fiskal negara
menjadi salah satu alasan pemerintah tidak tergesa menetapkan status bencana
nasional. Ia menyebut efisiensi anggaran yang dilakukan sejak awal
pemerintahannya membuat ruang fiskal negara cukup kuat untuk membiayai
penanganan bencana, tanpa mengganggu program strategis lain. Melalui kebijakan
efisiensi itu, pemerintah mengklaim berhasil menutup potensi kebocoran dan
menekan praktek korupsi sehingga tersedia cadangan dana yang dapat digerakkan
secara cepat.
Sebagai bagian dari respons awal, Presiden telah
menginstruksikan penyaluran dana operasional taktis sebesar dua puluh miliar
rupiah kepada masing-masing gubernur di daerah terdampak, serta empat miliar
rupiah kepada setiap bupati dan wali kota pada lima puluh dua kabupaten dan
kota. Dana ini dikirim di luar paket anggaran pemulihan jangka panjang, agar
kepala daerah memiliki ruang gerak cepat untuk menutup kebutuhan mendesak
warganya. "Ini sudah langsung dan sudah diterima di luar anggaran
pemulihan. Tiga hari setelah instruksi saya, uang sudah sampai di semua semua
kabupaten," tutur Prabowo.
Di tengah penjelasan pemerintah yang menekankan situasi
terkendali, suara dari Aceh menyampaikan nada berbeda. Muzakarah Ulama Aceh
2025 yang dihimpun Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh meminta Presiden Prabowo
Subianto menetapkan banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera
Barat sebagai Darurat Bencana Nasional. "Muzakarah Ulama Aceh
menghasilkan sejumlah rekomendasi penting terkait penanganan bencana, yakni
penetapan bencana nasional dan penguatan peran masjid sebagai pemersatu
umat," kata Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali.
Para ulama menilai skala bencana, jumlah korban jiwa,
serta kerusakan infrastruktur strategis di tiga provinsi tersebut menuntut
keterlibatan penuh pemerintah pusat. Penetapan status bencana nasional
dipandang penting untuk mempercepat pemulihan, membuka jalur bantuan
kemanusiaan internasional secara terkoordinasi, dan memberikan dasar politik
yang lebih kuat bagi audit lingkungan, pengetatan izin, dan penegakan hukum
terhadap pihak yang diduga merusak kawasan hulu.
Rekomendasi muzakarah tidak berhenti pada soal status.
Para ulama mendorong Gubernur Aceh bersama para bupati dan wali kota menyusun
peta jalan pembangunan pascabencana yang terintegrasi, dengan perhatian pada
mitigasi, pemulihan lingkungan, penguatan ekonomi warga, serta perlindungan
lembaga pendidikan dan rumah ibadah. Masjid diminta kembali difungsikan sebagai
pusat penguatan sosial dan spiritual, termasuk melalui doa bersama,
penggalangan solidaritas, dan edukasi publik agar masyarakat tetap tenang namun
waspada.
Di sisi lain, MPU Aceh menekankan pentingnya transparansi
dalam pengelolaan bantuan serta penegakan hukum terhadap pelaku perusakan
lingkungan yang ditengarai memperparah dampak banjir dan longsor. Masyarakat
juga diimbau menjaga etika di ruang digital, tidak menyebarkan informasi
menyesatkan, dan menghindari fitnah yang justru memperkeruh suasana ketika
banyak warga masih berjuang bangkit dari bencana.
"Penyerahan kepada Pemerintah Pusat bukan berarti
putus asa atau tidak bekerja. Itu adalah bentuk pengakuan bahwa dalam kondisi
tertentu, bencana yang begitu besar tidak mampu ditangani sendiri oleh daerah,
sehingga membutuhkan kehadiran dan bantuan dari pemerintah pusat," ujar Abu Sibreh, sapaan akrab Faisal Ali. Pernyataan ini
menggambarkan harapan agar pemerintah pusat tidak hanya hadir melalui bantuan
anggaran dan logistik, tetapi juga mengambil alih koordinasi di level tertinggi
ketika kapasitas daerah benar-benar terlampaui.
Pada saat yang sama, Presiden Prabowo menyampaikan
apresiasi kepada TNI, Polri, relawan, dan warga yang terlibat langsung di
lapangan. "Relawan, warga masyarakat bahu-membahu membantu
proses evakuasi, penyaluran bantuan, dan pemulihan akses di sana. Kita semua satu tim. Dan saya terima kasih," kata Kepala Negara.
Perdebatan soal perlu tidaknya status darurat bencana nasional untuk banjir Sumatera pada akhirnya bertumpu pada dua narasi besar. Di satu sisi, pemerintah pusat ingin menunjukkan bahwa negara hadir, kuat secara fiskal, dan mampu menangani bencana dengan instrumen yang ada. Di sisi lain, suara ulama dan elemen masyarakat sipil di daerah terdampak menuntut pengakuan bahwa skala bencana sudah melampaui kemampuan lokal dan memerlukan payung kewenangan yang lebih besar. Bagaimana pemerintah menyeimbangkan dua pandangan ini akan menjadi ujian penting bagi komitmen penanganan bencana yang adil dan menyeluruh di Indonesia. (WA)
