![]() |
Sumber Foto: diunggah dari pexels.com by Pixabay |
WARTAALENGKA,
Mataram — Sejumlah pengusaha hotel di Kota Mataram mempersoalkan
kebijakan royalti lagu dan musik yang dipungut Lembaga Manajemen Kolektif
Nasional (LMKN). Keberatan tak hanya datang dari hotel umum, melainkan juga
hotel berkonsep syariah yang sehari-hari tidak memutar musik komersial,
melainkan murotal Al-Qur’an.
General
Manager Hotel Madani, Rega Fajar Firdaus, menyebut tagihan royalti mulai mereka
terima sejak akhir Juli 2025. “Kalau di Madani, tagihan yang keluar itu
sebesar Rp4,4 juta per tahun, termasuk PPN. Tarif ini dihitung berdasarkan
jumlah kamar, kami punya 59 kamar, jadi masuk kategori 51–100 kamar,”
ujarnya, Rabu (13/8).
Menurut
Rega, struktur tarif LMKN yang berbasis jumlah kamar berangkat dari asumsi
bahwa setiap kamar memiliki televisi yang berpotensi memutar konten berhak
cipta. Namun, praktik di lapangan, kata dia, tidak selalu demikian. “Masalahnya,
walaupun tamu tidak memutar musik atau kita hanya memutar murotal, tetap
dikenakan. Bahkan suara burung digital atau suara alam dari YouTube pun kena,”
jelasnya.
Ia
menilai kebijakan tersebut kian menekan biaya operasional, terutama bagi hotel
kecil dan menengah yang masih berusaha pulih. “Musik di hotel bukan
kebutuhan utama, tamu datang untuk menginap. Kami sudah setop memutar musik,
tidak ada komplain dari tamu,” katanya.
Asosiasi
Hotel Konsolidasi Sikap
Asosiasi
Hotel Mataram (AHM) yang membawahi sekitar 30 hotel akan menggelar rapat pada
21 Agustus untuk menyamakan sikap sebelum berdialog resmi dengan LMKN. “Ada
anggota yang sudah bayar, ada yang masih skeptis. Kami ingin satu suara dulu
sebelum bicara dengan LMKN,” ujarnya.
Rega
juga menyoroti ancaman sanksi dalam aturan hak cipta yang dinilai “terlalu
berat” bagi pelaku usaha akomodasi. “Bisa pidana maksimal 10 tahun atau
denda Rp4 miliar. Terlalu jauh kalau sampai pidana, kami bukan residivis,”
katanya.
Minta
Kajian Ulang dan Dialog Teknis
Selain perhotelan, LMKN juga menerapkan skema royalti
pada restoran, pub, dan diskotek—mulai perhitungan per kursi hingga per meter
persegi. Rega menilai penerapan seragam tanpa melihat konteks penggunaan di
lapangan akan memunculkan banyak sengketa. “Aturan ini perlu dikaji ulang
secara teknis, dan pelaku usaha harus diajak duduk bersama sebelum diterapkan,”
tegas Rega.
Para pelaku usaha berharap ada diferensiasi perlakuan:
apakah konten yang diputar bersifat komersial, nonkomersial, atau berupa
lantunan murotal yang bukan untuk hiburan, serta mekanisme pembuktian bila
kamar tidak memutar musik berhak cipta. Bagi mereka, kepastian dan
proporsionalitas menjadi kunci agar kepatuhan berjalan tanpa membebani. (WA)