
Sumber foto: diunduh dari fraksipkb.com
WARTAALENGKA, Jakarta - Di hadapan pemangku kepentingan program pemberdayaan di Menara Danareksa, Jakarta, Selasa (28/10/2025), Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar menilai agenda kemandirian warga belum benar-benar menjadi arus utama dalam satu dekade terakhir. Ia menekankan, tanpa keberanian merombak cara kerja birokrasi dan cara kita menyusun anggaran, jargon kemandirian hanya akan berhenti di spanduk.
“Kita
harus jujur satu dekade, sepuluh tahun terakhir ini kita tidak pernah mendorong
secara serius apa yang disebut sebagai kemandirian individu, kemandirian
kolektif, apa yang disebut sebagai semangat untuk berdiri di atas kaki
sendiri,” ungkapnya.
Muhaimin menyoroti dua penghambat klasik: mesin birokrasi yang belum membuka ruang luas untuk tumbuhnya kapasitas masyarakat, serta ego sektoral antarkementerian/lembaga yang membuat program berjalan sendiri-sendiri. Cak Imin mengungkapkan “Bahkan antar kementerian dan lembaga amat sangat sulit untuk bisa bekerja sama, membunuh ego-ego sektoralnya di dalam setiap menjalankan program-program pembangunan,”.
Dalam kerangka ini, pemberdayaan ditarik keluar
dari ranah slogan menuju paradigma kerja: setiap rupiah APBN mesti menjadi
modal produksi sosial mengangkat keterampilan, jejaring, dan daya saing
komunitas, bukan sekadar belanja rutin.
Ia
menautkan mandat tersebut dengan arahan Presiden Prabowo yaitu berdikari
melalui penguatan kapasitas warga dan kelembagaan lokal. “Hal ini sesuai
dengan arahan Bapak Presiden yang senantiasa kita terus dengarkan dan menjadi
panduan kita bahwa Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri, Indonesia
harus bertumpu pada kemampuan, kemandirian,” paparnya.
Logikanya
jelas, ketika rumah tangga, UMKM, koperasi, dan komunitas lokal semakin
mandiri, kecepatan pertumbuhan dan produktivitas ikut terdorong. “Sehingga
dengan masyarakat itu berdaya maka masyarakat produktif dan dengan sendirinya
maka negara akan kaya di hari-hari berikutnya,” sebutnya.
Satu terobosan yang disorot adalah pembangunan Data Tunggal Sosial Ekonomi (DTSEN). Selama ini, perbedaan basis data di Kemensos, Kemenko PM, dan BKKBN kerap melahirkan rujukan kebijakan yang tidak sinkron—sasaran program tumpang tindih di satu wilayah, sementara wilayah lain luput. Menurut Muhaimin, Presiden memerintahkan integrasi sebagai prasyarat akurasi penajaman anggaran dan evaluasi.
“Hanya dalam waktu dua bulan Pak Saeful ya, hanya waktu dalam dua
bulan perintah Presiden bisa kita laksanakan dan sejak itu pula DTSEN sudah
menjadi rujukan ekosistem dari semua sasaran pembangunan nasional kita,”
tambahnya.
Secara
kebijakan, DTSEN berfungsi sebagai “peta tunggal” untuk mengarahkan program
menuju titik kebutuhan yang tepat: siapa, di mana, dan intervensi apa yang
paling berdampak. Dengan peta yang sama, kementerian/lembaga lebih mudah
menyelaraskan target, mengurangi duplikasi, dan mengukur hasil. Ini sekaligus
alat untuk mereduksi ego sectoral karena matriks kinerja dibaca dari data yang
sama serta memastikan setiap rupiah memang mengangkat produktivitas warga.
Tantangannya tetap tidak ringan yaitu harmonisasi peraturan lintas sektor, pembaruan berkala, serta redesain skema anggaran agar insentifnya pro terhadap kolaborasi. Namun, jika DTSEN betul-betul menjadi rujukan bersama dan paradigma pemberdayaan diterjemahkan ke indikator kinerja yang terukur di lapangan, kritik Muhaimin soal “satu dekade yang kurang serius” berpeluang dibalik menjadi dari retorika ke lompatan kinerja yang kasat mata. (WA)