![]() |
| Sumber Foto: PT Suparma |
WARTAALENGKA,
Cianjur – Seblak merupakan makanan khas Jawa Barat yang populer
di kalangan remaja dan dewasa muda karena cita rasa gurih, pedas, dan harganya
yang relatif terjangkau. Namun, di balik popularitasnya, konsumsi seblak dalam
jangka panjang dapat menimbulkan dampak kesehatan yang signifikan. Artikel ini
membahas bahaya seblak dari aspek kandungan gizi, risiko bahan tambahan pangan,
kontaminasi mikrobiologis, hingga efek konsumsi berlebihan terhadap sistem
pencernaan dan metabolisme.
Seblak
umumnya dibuat dari kerupuk basah yang dimasak dengan bumbu cabai, kencur,
serta tambahan protein dan sayuran. Kepedasan ekstrem dan penggunaan bahan
olahan instan menjadikan seblak rentan menimbulkan dampak buruk jika dikonsumsi
terlalu sering. Menurut survei Badan POM (2023), makanan pedas instan menjadi
salah satu penyumbang utama keluhan pencernaan pada kelompok usia 15–30 tahun.
Kandungan capsaicin dalam cabai yang tinggi dapat memicu iritasi lambung,
meningkatkan produksi asam lambung, serta menimbulkan gejala gastritis dan
refluks asam. Dalam kasus tertentu, konsumsi cabai berlebihan juga mempercepat
peristaltik usus sehingga menyebabkan diare dan dehidrasi. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa konsumsi jangka panjang makanan pedas berlebihan berhubungan
dengan risiko erosi mukosa lambung.
Selain
faktor pedas, bahan tambahan dalam seblak juga dapat memengaruhi kesehatan.
Sosis, bakso, dan kerupuk yang digunakan kerap mengandung pengawet seperti
nitrit atau bahkan formalin pada produk ilegal. Penggunaan penyedap rasa dalam
jumlah berlebih dapat menimbulkan gejala pusing, mual, dan jantung berdebar
pada individu sensitif. Seblak juga sering dimasak dengan minyak jelantah yang
digunakan berulang kali. Proses pemanasan minyak yang berulang dapat
menghasilkan senyawa radikal bebas dan aldehid yang bersifat karsinogenik
sehingga berpotensi meningkatkan risiko kanker jika dikonsumsi jangka panjang.
Dari
sisi keamanan pangan, seblak yang dijual di jalanan memiliki risiko kontaminasi
mikrobiologis. Bahan yang disimpan tanpa standar higienis memungkinkan
berkembangnya bakteri patogen seperti E. coli dan Salmonella.
Kerupuk atau bahan tepung yang lama disimpan dapat ditumbuhi jamur penghasil
aflatoksin, yang juga memiliki efek karsinogenik. Kebersihan alat masak dan
suhu penyajian yang tidak terjaga semakin meningkatkan potensi kontaminasi.
Dampak
jangka panjang konsumsi seblak yang tidak sehat meliputi gangguan pencernaan
kronis seperti gastritis, tukak lambung, hingga sindrom iritasi usus. Kandungan
kalori tinggi dari minyak dan karbohidrat sederhana juga dapat memicu obesitas
dan sindrom metabolik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2021) menekankan bahwa
pola makan tinggi makanan olahan, berpengawet, dan dimasak dengan minyak
berulang berhubungan erat dengan peningkatan risiko kanker kolorektal.
Kasus
nyata pernah dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung (2021), di mana
sekelompok siswa SMA mengalami keracunan makanan setelah mengonsumsi seblak
pedas instan yang dijual di sekitar sekolah. Gejala yang dialami antara lain
diare akut, mual, dan dehidrasi, yang mengindikasikan kualitas bahan serta
kebersihan pengolahan yang buruk.
Kesimpulannya, meskipun seblak merupakan makanan tradisional yang digemari masyarakat, konsumsi berlebihan tanpa memperhatikan standar keamanan pangan dapat menimbulkan bahaya serius bagi kesehatan. Edukasi konsumen, pengawasan lebih ketat dari otoritas pangan, serta inovasi kuliner untuk menyajikan seblak yang lebih sehat dengan bahan segar, kadar cabai yang wajar, dan minyak berkualitas sangat diperlukan. Dengan langkah-langkah tersebut, seblak tetap dapat dinikmati sebagai bagian dari kekayaan kuliner Nusantara tanpa mengorbankan kesehatan masyarakat. (WA/Ow)
