![]() |
Sumber Foto: Tribun |
Secara
fisiologis, gas air mata bekerja dengan mengaktivasi reseptor nyeri dan ion
channel seperti TRPA1 dan TRPV1, yang memicu reaksi saraf perifer. Iritasi
intensif pada mata menyebabkan lakrimasi berlebihan, blefarospasme, dan kadang
kebutaan sementara. Paparan di saluran pernapasan memicu hipersekresi mukus,
bronkospasme, dan pada individu rentan seperti penderita asma atau penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK), dapat mengarah pada serangan akut yang mengancam
jiwa. Kulit yang terpapar juga dapat mengalami dermatitis, eritema, dan pada
paparan tinggi menimbulkan luka bakar kimia.
Penggunaan
gas air mata sering kali dianggap "non-lethal", namun data
epidemiologi dan laporan klinis menunjukkan bahwa paparan intensif atau dalam
ruang tertutup dapat berujung fatal. Beberapa kasus kematian dilaporkan akibat edema
paru non-kardiogenik, gagal napas akut, maupun trauma sekunder akibat kepanikan
massal. Studi di Journal of Toxicology and Environmental Health
menekankan bahwa efek jangka panjang bisa berupa kerusakan saraf, gangguan
menstruasi pada perempuan, dan risiko komplikasi kardiovaskular.
Aspek
lain yang jarang dibahas adalah penggunaan gas air mata yang sudah melewati
masa kedaluwarsa. Senyawa kimia seperti CS dan CN mengalami degradasi seiring
waktu, dipengaruhi oleh kelembaban, panas, dan paparan cahaya. Gas air mata
yang kadaluarsa dapat menghasilkan produk sampingan toksik, misalnya
senyawa sianida dalam jumlah kecil dari degradasi CN, atau senyawa beraroma
menyengat yang lebih iritan daripada produk aslinya. Hal ini justru dapat
meningkatkan risiko keracunan sistemik, karena produk degradasi lebih mudah
menembus jaringan paru-paru dan kulit.
Selain
itu, tabung gas air mata yang kadaluarsa menimbulkan risiko mekanis: tekanan
internal bisa berkurang, menyebabkan pelepasan bahan kimia tidak terkendali
atau dalam bentuk partikel yang lebih pekat. Pelepasan semacam ini justru
meningkatkan paparan lokal secara ekstrem, yang dapat memperburuk luka pada
individu di dekat sumber letupan. Dalam kasus tertentu, wadah yang berkarat
atau bocor juga bisa melepaskan bahan kimia tanpa disadari, mencemari
lingkungan sekitar.
Beberapa
contoh kasus nyata memperkuat temuan ini. Pada protes Gezi Park, Istanbul tahun
2013, Amnesty International mencatat penggunaan gas air mata secara intensif
dalam ruang tertutup, yang menyebabkan beberapa korban meninggal akibat
asfiksia dan gagal napas. Laporan WHO tahun 2021 juga menyoroti kasus di Hong
Kong 2019, ketika ribuan tabung gas air mata ditembakkan dalam demonstrasi;
beberapa di antaranya diketahui telah kadaluarsa. Warga melaporkan bau kimia
yang lebih menyengat, iritasi kulit yang lebih parah, serta gejala pernapasan
berkepanjangan. Di Palestina dan Gaza, organisasi medis Physicians for Human
Rights mencatat kasus anak-anak yang mengalami kerusakan paru kronis
setelah paparan berulang gas air mata di permukiman padat. Semua kasus ini
memperlihatkan bahwa penggunaan berlebihan dan tidak terkontrol, apalagi dengan
amunisi kedaluwarsa, menimbulkan dampak yang jauh dari sekadar “menyebabkan air
mata”.
Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa paparan gas air mata yang sudah melewati masa simpan
berpotensi meningkatkan kadar kontaminan di udara yang lebih persisten,
sehingga risiko paparan kronis pada aparat maupun masyarakat sipil lebih
tinggi. Hal ini juga menimbulkan problem etis dan hukum, karena penggunaan
senjata kimia yang tidak sesuai standar manufaktur dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran terhadap prinsip hak asasi manusia.
Dalam
konteks kesehatan masyarakat, penggunaan gas air mata, terutama yang
kedaluwarsa, dapat berdampak luas. Anak-anak, lansia, dan individu dengan
penyakit bawaan adalah kelompok yang paling rentan mengalami komplikasi serius.
Selain itu, residu kimia yang terlepas ke lingkungan dapat mencemari tanah dan
air, berimplikasi pada ekotoksikologi dan kesehatan jangka panjang.
Dengan
demikian, gas air mata bukan sekadar instrumen pengendali massa, tetapi juga
agen toksik yang berbahaya, terutama ketika penggunaannya tidak sesuai dengan
standar keamanan. Risiko semakin besar jika gas air mata yang digunakan telah
kadaluarsa, karena degradasi kimiawi menghasilkan produk sampingan yang lebih
beracun dan mekanisme pelepasan yang tidak stabil.
Kesimpulannya,
narasi bahwa gas air mata adalah “senjata non-mematikan” perlu ditinjau ulang
berdasarkan bukti ilmiah terkini. Paparan berulang, penggunaan dalam kondisi
tertutup, serta pemakaian amunisi kedaluwarsa menjadikan gas air mata bukan
hanya ancaman bagi kesehatan individu, tetapi juga isu serius dalam kesehatan
masyarakat global. Riset lanjutan diperlukan untuk mengevaluasi dampak jangka
panjang, sementara regulasi yang lebih ketat harus diterapkan agar praktik
penggunaannya tidak melampaui batas kemanusiaan. (WA/Ow)