Di Balik Kabut Air Mata: Saat Gas Air Mata Membunuh dan Senjata Kadaluarsa Mengintai!

Sumber Foto: Tribun  

 WARTAALENGKA, Cianjur – Gas air mata, atau yang dikenal dalam literatur toksikologi sebagai riot control agents, merupakan senyawa kimia iritan yang lazim digunakan oleh aparat untuk membubarkan kerumunan. Senyawa paling sering digunakan adalah CS (o-chlorobenzylidene malononitrile), CN (chloroacetophenone), dan OC (oleoresin capsicum) atau dikenal sebagai semprotan merica. Mekanisme kerja gas ini didasarkan pada iritasi mukosa, baik di mata, saluran pernapasan, maupun kulit, sehingga menimbulkan sensasi perih, rasa terbakar, batuk hebat, serta refleks menutup mata. Efek-efek tersebut dimaksudkan untuk melemahkan kemampuan individu bertahan di lokasi dan mendorong mereka menjauhi sumber paparan.

Secara fisiologis, gas air mata bekerja dengan mengaktivasi reseptor nyeri dan ion channel seperti TRPA1 dan TRPV1, yang memicu reaksi saraf perifer. Iritasi intensif pada mata menyebabkan lakrimasi berlebihan, blefarospasme, dan kadang kebutaan sementara. Paparan di saluran pernapasan memicu hipersekresi mukus, bronkospasme, dan pada individu rentan seperti penderita asma atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dapat mengarah pada serangan akut yang mengancam jiwa. Kulit yang terpapar juga dapat mengalami dermatitis, eritema, dan pada paparan tinggi menimbulkan luka bakar kimia.

Penggunaan gas air mata sering kali dianggap "non-lethal", namun data epidemiologi dan laporan klinis menunjukkan bahwa paparan intensif atau dalam ruang tertutup dapat berujung fatal. Beberapa kasus kematian dilaporkan akibat edema paru non-kardiogenik, gagal napas akut, maupun trauma sekunder akibat kepanikan massal. Studi di Journal of Toxicology and Environmental Health menekankan bahwa efek jangka panjang bisa berupa kerusakan saraf, gangguan menstruasi pada perempuan, dan risiko komplikasi kardiovaskular.

Aspek lain yang jarang dibahas adalah penggunaan gas air mata yang sudah melewati masa kedaluwarsa. Senyawa kimia seperti CS dan CN mengalami degradasi seiring waktu, dipengaruhi oleh kelembaban, panas, dan paparan cahaya. Gas air mata yang kadaluarsa dapat menghasilkan produk sampingan toksik, misalnya senyawa sianida dalam jumlah kecil dari degradasi CN, atau senyawa beraroma menyengat yang lebih iritan daripada produk aslinya. Hal ini justru dapat meningkatkan risiko keracunan sistemik, karena produk degradasi lebih mudah menembus jaringan paru-paru dan kulit.

Selain itu, tabung gas air mata yang kadaluarsa menimbulkan risiko mekanis: tekanan internal bisa berkurang, menyebabkan pelepasan bahan kimia tidak terkendali atau dalam bentuk partikel yang lebih pekat. Pelepasan semacam ini justru meningkatkan paparan lokal secara ekstrem, yang dapat memperburuk luka pada individu di dekat sumber letupan. Dalam kasus tertentu, wadah yang berkarat atau bocor juga bisa melepaskan bahan kimia tanpa disadari, mencemari lingkungan sekitar.

Beberapa contoh kasus nyata memperkuat temuan ini. Pada protes Gezi Park, Istanbul tahun 2013, Amnesty International mencatat penggunaan gas air mata secara intensif dalam ruang tertutup, yang menyebabkan beberapa korban meninggal akibat asfiksia dan gagal napas. Laporan WHO tahun 2021 juga menyoroti kasus di Hong Kong 2019, ketika ribuan tabung gas air mata ditembakkan dalam demonstrasi; beberapa di antaranya diketahui telah kadaluarsa. Warga melaporkan bau kimia yang lebih menyengat, iritasi kulit yang lebih parah, serta gejala pernapasan berkepanjangan. Di Palestina dan Gaza, organisasi medis Physicians for Human Rights mencatat kasus anak-anak yang mengalami kerusakan paru kronis setelah paparan berulang gas air mata di permukiman padat. Semua kasus ini memperlihatkan bahwa penggunaan berlebihan dan tidak terkontrol, apalagi dengan amunisi kedaluwarsa, menimbulkan dampak yang jauh dari sekadar “menyebabkan air mata”.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa paparan gas air mata yang sudah melewati masa simpan berpotensi meningkatkan kadar kontaminan di udara yang lebih persisten, sehingga risiko paparan kronis pada aparat maupun masyarakat sipil lebih tinggi. Hal ini juga menimbulkan problem etis dan hukum, karena penggunaan senjata kimia yang tidak sesuai standar manufaktur dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip hak asasi manusia.

Dalam konteks kesehatan masyarakat, penggunaan gas air mata, terutama yang kedaluwarsa, dapat berdampak luas. Anak-anak, lansia, dan individu dengan penyakit bawaan adalah kelompok yang paling rentan mengalami komplikasi serius. Selain itu, residu kimia yang terlepas ke lingkungan dapat mencemari tanah dan air, berimplikasi pada ekotoksikologi dan kesehatan jangka panjang.

Dengan demikian, gas air mata bukan sekadar instrumen pengendali massa, tetapi juga agen toksik yang berbahaya, terutama ketika penggunaannya tidak sesuai dengan standar keamanan. Risiko semakin besar jika gas air mata yang digunakan telah kadaluarsa, karena degradasi kimiawi menghasilkan produk sampingan yang lebih beracun dan mekanisme pelepasan yang tidak stabil.

Kesimpulannya, narasi bahwa gas air mata adalah “senjata non-mematikan” perlu ditinjau ulang berdasarkan bukti ilmiah terkini. Paparan berulang, penggunaan dalam kondisi tertutup, serta pemakaian amunisi kedaluwarsa menjadikan gas air mata bukan hanya ancaman bagi kesehatan individu, tetapi juga isu serius dalam kesehatan masyarakat global. Riset lanjutan diperlukan untuk mengevaluasi dampak jangka panjang, sementara regulasi yang lebih ketat harus diterapkan agar praktik penggunaannya tidak melampaui batas kemanusiaan. (WA/Ow)

Lebih baru Lebih lama