![]() |
Sumber Foto: Mooimom |
WARTAALENGKA,
Cianjur – Fenomena Gerakan Tutup Mulut (GTM) pada anak, terutama
usia balita, merupakan masalah yang sering kali dikeluhkan orang tua. GTM
ditandai dengan perilaku anak menolak makan, menutup mulut, bahkan memuntahkan
kembali makanan yang sudah masuk. Kondisi ini bukan sekadar kebiasaan,
melainkan juga berhubungan dengan fase perkembangan, psikologi anak, serta
faktor biologis yang kompleks.
Menurut
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sekitar 30,8% anak balita di Indonesia
mengalami masalah gizi seperti gizi kurang dan stunting, salah satunya
dipengaruhi oleh asupan makanan yang tidak memadai karena GTM. Data WHO (2021)
juga menunjukkan bahwa 45 juta anak balita di dunia mengalami wasting (berat
badan rendah untuk tinggi badan), di mana penolakan makan menjadi faktor risiko
yang signifikan.
Secara
ilmiah, GTM dapat dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, faktor sensorik, di
mana anak menolak makanan karena tekstur, rasa, atau aroma yang dianggap tidak
sesuai. Kedua, faktor psikologis, misalnya trauma makan akibat pengalaman
tersedak, atau interaksi yang terlalu memaksa dari orang tua. Ketiga, faktor medis,
seperti gangguan pencernaan (GERD, konstipasi) atau infeksi mulut yang membuat
anak merasa sakit saat makan.
Beberapa
penelitian membuktikan bahwa pola asuh saat makan berperan besar dalam
mengatasi GTM. Studi oleh Carruth & Skinner (2000) menemukan bahwa anak
yang mendapat tekanan atau paksaan untuk makan cenderung memperlihatkan
resistensi lebih tinggi dan risiko GTM berulang. Sebaliknya, strategi pemberian
makan dengan pendekatan responsif—di mana orang tua peka terhadap sinyal lapar
dan kenyang anak—terbukti lebih efektif meningkatkan penerimaan makanan.
Contoh
konkret dapat dilihat dalam praktik di Posyandu di wilayah Cianjur tahun 2022,
di mana 47% ibu balita melaporkan anak mereka sering GTM. Setelah dilakukan
program edukasi pemberian makan dengan model “3 J” (Jadwal, Jenis, Jumlah),
tercatat dalam tiga bulan terdapat penurunan kasus GTM sebesar 19%. Anak-anak
menjadi lebih terbiasa dengan jadwal makan teratur, orang tua belajar
mengenalkan variasi makanan, dan jumlah porsi disesuaikan dengan kemampuan
anak.
Strategi
lain yang terbukti efektif adalah food chaining, yaitu memperkenalkan makanan
baru dengan mengaitkan pada makanan yang sudah disukai anak. Misalnya, anak
yang suka pisang goreng dapat dikenalkan dengan pisang kukus, lalu berlanjut ke
buah segar. Studi di Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition
(2019) menunjukkan metode ini meningkatkan penerimaan makanan baru pada 68%
anak picky eater.
Selain
itu, penting juga memperhatikan lingkungan makan. Anak yang makan bersama
keluarga dalam suasana positif terbukti memiliki asupan gizi lebih baik. Data
dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES, 2016) menemukan
bahwa anak yang rutin makan bersama keluarga memiliki risiko 12% lebih rendah
mengalami masalah makan dibandingkan anak yang makan sendiri atau sambil
menonton gawai.
Contoh
kasus nyata: seorang anak usia 3 tahun di Bandung yang mengalami GTM selama dua
bulan akibat sering dipaksa makan sayur. Setelah dilakukan pendekatan permainan
dengan membuat "food art" (nasi dibentuk karakter hewan), anak mulai
tertarik kembali untuk mencoba makanan baru. Dalam waktu satu bulan, berat
badan anak naik 0,8 kg setelah sebelumnya stagnan.
Kesalahan
umum orang tua yang harus dihindari adalah memberikan alternatif instan seperti
permen, snack tinggi gula, atau susu berlebihan setiap kali anak menolak makan.
Hal ini justru memperparah GTM karena anak belajar bahwa dengan menolak makanan
utama, mereka akan mendapat pengganti yang lebih manis dan mudah dikonsumsi.
Di
sisi lain, perlu diperhatikan pula kondisi medis serius yang bisa menyerupai
GTM. Anak dengan autisme atau gangguan sensori sering menunjukkan selective
eating, sehingga perlu evaluasi dari dokter anak dan terapis okupasi. Oleh
karena itu, GTM yang berlangsung lebih dari 2 minggu, disertai penurunan berat
badan atau tanda dehidrasi, wajib dikonsultasikan ke tenaga kesehatan.
Kesimpulannya, GTM pada anak bukanlah sekadar perilaku manja, melainkan masalah yang dapat berdampak serius pada pertumbuhan dan perkembangan bila tidak ditangani secara tepat. Pendekatan ilmiah melalui pemberian makan responsif, variasi makanan, suasana makan yang positif, dan deteksi dini masalah medis adalah strategi utama dalam menghadapi fenomena ini. (WA/Ow)