Dari Selfie Jadi Deepfake: Bahaya Tersembunyi Tren Foto AI

Sumber Foto: Teknologi.id

 WARTAALENGKA, Cianjur – Penggunaan teknologi AI dalam mengedit foto diri—misalnya mengubah gaya artistik, menambahkan efek dramatis, atau membuat versi “fantasi” kita—semakin populer di media sosial. Tren ini sering kali tampak menyenangkan dan kreatif, namun sejumlah riset dan laporan menunjukkan bahwa terdapat risiko signifikan yang sering diabaikan, terutama soal privasi, keamanan data, dan dampak psikologis.

Salah satu risiko utama adalah penyalahgunaan identitas. Saat seseorang mengunggah foto asli ke aplikasi AI untuk diedit atau diubah, data wajah dan kontur tubuhnya dapat disimpan oleh server yang tidak selalu transparan tentang bagaimana data itu digunakan. Dalam kasus tren gaya seperti “Ghibli-style photo trend” di Bengaluru, India, otoritas tindak kejahatan dunia maya memperingatkan bahwa foto-foto pengguna bisa disimpan secara permanen dan digunakan untuk pelatihan AI, profil identitas digital, atau bahkan untuk deepfake tanpa izin.

Risiko lain adalah kehilangan kontrol atas penggunaan foto pribadi, terutama untuk tujuan komersial atau manipulasi digital. Dalam riset “Risks of Uploading Your Photos to AI Image Generators” dijelaskan bahwa platform AI biasanya memiliki persyaratan layanan (terms of service) yang memungkinkan penggunaan foto pengguna untuk dataset pelatihan atau publikasi tanpa persetujuan eksplisit. Pengguna sering tidak membaca secara mendetail ketentuan tersebut, sehingga mereka bisa secara tidak disadari memberikan izin yang luas terhadap foto milik mereka.

Masalah objektivitas dan stigmatisasi juga muncul. Sebagai contoh, riset dari “Biased AI generated images of mental illness” yang menggunakan model generatif seperti Midjourney dan DALL-E menunjukkan bahwa ketika diberikan prompt yang berkaitan dengan kondisi psikiatrik, AI sering menghasilkan gambar yang menguatkan stereotip negatif—misalnya gambaran suasana rumah sakit yang menyeramkan atau suasana terisolasi yang tidak akurat. Ini bisa memperkuat prasangka publik terhadap individu dengan gangguan jiwa.

Ada pula risiko sosial dan keamanan yang praktis. Laporan-laporan media (contoh: trend AI saree melalui Google Gemini) menunjukkan bahwa pengguna menemukan elemen dalam foto AI editan yang muncul tanpa mereka sadari (misalnya tahi lalat atau detail lain yang tidak ada di foto asli), yang memperkuat kekhawatiran bahwa data asli digunakan dalam cara yang tidak dikontrol.

Risiko kebocoran data juga nyata. Foto yang diupload ke aplikasi AI bisa menjadi target hacker atau disimpan secara permanen di server yang kurang aman. Informasi foto juga bisa mengandung metadata seperti lokasi, jenis perangkat, dan bahkan identitas lokasi pribadi yang kemudian bisa disalahgunakan.

Dari sudut pandang psikologis, tren ini juga bisa berdampak negatif terhadap kesejahteraan mental. Ketika seseorang melihat versi AI dari foto dirinya yang sempurna atau ideal—efek editing, lighting, estetika berlebihan—bisa menimbulkan perasaan tidak cukup bagus, membandingkan diri dengan versi ideal palsu, dan meningkatkan kecemasan atau gangguan citra tubuh. Meskipun riset khusus mengenai AI-selfie editing masih berkembang, literatur psikologi menunjukkan bahwa paparan terhadap gambar modifikasi atau filter yang berlebihan berkaitan dengan persepsi diri yang negatif. (Riset terkait efek media sosial, filter, dan pengeditan gambar).

Risiko hukum pun tidak dapat diabaikan. Di beberapa negara, penggunaan gambar seseorang tanpa izin untuk tujuan promosi atau publikasi bisa melanggar undang-undang privasi dan hak cipta. Ada juga regulasi deepfake yang mulai muncul, seperti penggunaan gambar AI untuk membuat konten yang memalukan atau merendahkan seseorang.

Untuk menanggapi bahaya-bahaya tersebut, beberapa praktik pencegahan disarankan: mengecek kebijakan privasi dan persyaratan penggunaan sebelum mengunggah foto; memilih aplikasi AI yang menyediakan opsi untuk menghapus foto dan tidak menyimpannya untuk pelatihan; menggunakan watermark atau metadata yang aman; menghindari mengunggah foto yang sangat pribadi atau sensitif; serta meningkatkan literasi digital agar pengguna memahami risiko yang terlibat.

Kesimpulannya, tren membuat foto menggunakan AI memang menawarkan kreativitas dan hiburan, tetapi disertai dengan risiko yang cukup berat bagi privasi, identitas, reputasi, dan kesehatan mental. Bukti riset dan laporan terkini menunjukkan bahwa tindakan preventif dan regulasi yang memadai sangat diperlukan agar manfaat kreatif dari AI tidak menimbulkan akibat samping yang merugikan. (WA/Ow)

Lebih baru Lebih lama