PUTAR SUARA ALAM AGAR TAK KENA ROYALTI? LMKN: MASIH TETAP KENA HAK TERKAIT

 

Sumber Foto: Tifamaluku

WARTAALENGKA, Jakarta– Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, buka suara terkait maraknya pelaku usaha yang kini memilih memutar suara alam seperti kicau burung ketimbang musik di tempat usaha, demi menghindari persoalan royalti. Fenomena ini mencuat setelah kasus pemutaran musik di gerai Mie Gacoan menjadi perkara hukum.

Namun, menurut Dharma, suara-suara ambience seperti kicauan burung hingga rekaman suara alam tetap tidak lepas dari aturan hak terkait, khususnya milik produser fonogram—yakni pihak pertama yang merekam dan memiliki hak atas audio tersebut.

“Enggak ada kewajiban harus memutar musik. Tapi kalau mereka memutar musik di dalam itu, mau itu musik Indonesia atau lagu barat atau lagu tradisional itu wajib membayar hak cipta,” kata Dharma dalam pernyataannya seperti dikutip detikcom, Minggu (3/8).

Ia melanjutkan, “Sekarang kalau dia putar suara burung atau suara apa pun, itu ada hak dari produser fonogramnya. Produser yang merekam itu kan punya hak terkait. Hak terhadap materi rekaman itu, itu juga hak terkait dari bentuk rekaman audio.”

Dharma juga menegaskan bahwa aturan royalti tidak hanya berlaku bagi musik produksi lokal, tetapi juga mencakup karya internasional. Semua pembayaran royalti, kata dia, tetap disalurkan melalui LMKN sesuai mandat yang dimiliki lembaga tersebut.

Polemik soal royalti musik terus menjadi isu sensitif, terutama setelah kasus yang menimpa bos Mie Gacoan Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara pelanggaran hak cipta karena menggunakan musik secara komersial di tempat usahanya, setelah dilaporkan oleh salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) bernama SELMI.

Imbas dari perkara ini, banyak pelaku usaha menyatakan keberatan bahkan enggan lagi memutar lagu di tempat bisnis mereka, meskipun lagu tersebut diputar dari platform berbayar.

Situasi ini memicu kekhawatiran di kalangan pengusaha, termasuk di sektor perhotelan dan restoran. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, mengakui bahwa sebagian pelaku usaha kini mengganti pemutaran musik dengan suara-suara alami.

“Kalau ditanya kepada kami, pasti ya [ada kekhawatiran] karena pemahaman di kalangan pengusaha tentang aturan di UU 28/2014 itu belum merata,” ujar Yusran kepada CNNIndonesia.com, Rabu (30/7). (WA/Ow)

Lebih baru Lebih lama