![]() |
Sumber Foto: diunduh dari kompas.com/Garry Andrew Lotulung |
Menjelang 17 Agustus,
halaman kampung hingga alun-alun berubah jadi arena tawa dan keringat. Panjat
pinang—dengan tiang licin, hadiah menggoda, dan sorak penonton—nyaris selalu
jadi bintang. Di sekelilingnya, balap karung, makan kerupuk, tarik tambang, bakiak
panjang, hingga egrang ikut meramaikan. Tradisi ini bukan sekadar seremonial;
ia merajut memori sejarah, solidaritas sosial, dan kegembiraan sederhana yang
mempersatukan.
Jejak
Panjat Pinang: Hiburan di Era Kolonial
Panjat
pinang diyakini muncul di masa Hindia Belanda (abad ke-19/awal abad ke-20).
Dalam berbagai perayaan kolonial—semisal hari raja—penyelenggara memasang
batang pinang yang diolesi pelumas, menggantung ragam barang kebutuhan di
puncaknya, lalu meminta penduduk lokal berebut memanjat sebagai tontonan.
Selepas kemerdekaan, praktik ini “dibalik”: panjat pinang diadopsi warga
sebagai pesta rakyat—bukan lagi pertunjukan untuk elite—dan pelan-pelan menjadi
ikon tujuhbelasan.
Dari
Spektakel ke Simbol Kolektif
Makna
panjat pinang bertumbuh. Licinnya tiang dibaca sebagai metafora rintangan
hidup, hadiah di puncak sebagai tujuan kolektif, sementara strategi
“bahu-membahu” menandai gotong royong. Di banyak kampung, regu yang pandai
menyusun formasi—penopang paling kukuh di bawah, pemanjat lincah di atas—adalah
kunci kemenangan. Itu juga pelajaran kepemimpinan dan kepercayaan.
Asal-Usul
Lomba Lain yang Melekat di 17 Agustus
- Balap Karung. Berakar dari permainan
rakyat yang dikenal luas di Eropa, lalu menyebar ke Nusantara. Di sini,
karung beras menambah konteks lokal: sederhana, murah, dan mudah
didapat—selaras semangat pesta rakyat.
- Makan Kerupuk. Kerupuk, pangan murah
yang akrab di meja makan, digantung dan dimakan tanpa tangan. Banyak yang
memaknainya sebagai pengingat kesahajaan dan kecukupan: meriah, tapi tetap
hemat.
- Tarik Tambang. Permainan universal yang
di Indonesia dipakai menegaskan daya kolektif; menang bukan semata otot,
melainkan ritme, komando, dan kekompakan.
- Bakiak Panjang
(Tarompah). Berakar dari permainan tradisional di Sumatera Barat dan
dikenal pula di berbagai daerah. Tiga–empat orang memakai satu “alas” kayu
panjang; tanpa komando dan sinkron, langkah pasti berantakan—pesan
teamwork yang gamblang.
- Egrang.
Berjalan di atas stilts bambu lazim di banyak komunitas (Betawi, Sunda,
Jawa, Bugis, dan lainnya). Di panggung tujuhbelasan, ia jadi ajang melatih
keseimbangan dan nyali.
Mengapa Tradisi Ini Bertahan?
Biaya penyelenggaraan relatif rendah, aturannya
sederhana, partisipasinya inklusif. Lomba-lomba itu mengisi ruang sosial yang
jarang disentuh acara formal: mengajak orang tua, anak muda, UMKM lokal, karang
taruna, hingga perangkat kampung berada di satu panggung yang sama. Di era
gawai, lomba tujuhbelasan juga mudah “ter-broadcast” ke media sosial—tanpa
kehilangan akar komunalnya.
Catatan Keselamatan yang Kerap Terlewat Kegembiraan perlu
disertai kewaspadaan:
- Panjat pinang:
pilih batang kuat (atau tiang modular yang aman), jauhkan dari kabel
listrik, batasi jumlah pemanjat tiap giliran, lapisi area jatuh dengan
matras/jerami, sediakan tim medis dan air minum.
- Lomba bergerak
(bakiak, egrang, karung): periksa permukaan lintasan, beri penanda jalur,
sediakan petugas jaga di titik rawan.
- Umum: atur
jadwal agar tak berdesakan, siapkan pengeras suara untuk komando, libatkan
panitia keamanan, dan periksa perizinan lingkungan setempat.
Rangkaian yang Terus Relevan
Panjat pinang dan kawan-kawan bertahan karena bisa
“menyerap” zaman: hadiah berganti sesuai kebutuhan, panggung bisa dibuat lebih
ramah lingkungan (dekorasi daur ulang), dan agenda mudah dipadukan dengan
edukasi sejarah singkat atau pasar UMKM. Intinya tetap sama: merayakan
kemerdekaan dengan kebersamaan, kecerdasan, dan keriangan yang tak dibuat-buat.
Pada akhirnya, tujuhbelasan adalah cara kita mengingat bahwa kemerdekaan
lahir dari kerja bersama. Setiap sorak, tawa, dan peluh di bawah tiang pinang
adalah narasi kecil tentang Indonesia: gigih, kompak, dan selalu menemukan cara
bersenang-senang tanpa kehilangan makna. (WA)