![]() |
Sumber Foto: Klik Dokter |
Mekanisme
masuknya patogen ke dalam sistem saraf pusat biasanya melalui hematogen,
diawali dengan kolonisasi mukosa nasofaring, invasi ke sirkulasi sistemik, dan
kemudian penetrasi ke sawar darah-otak. Begitu patogen mencapai ruang
subaraknoid, terjadi respons inflamasi yang luas dengan aktivasi sel imun,
pelepasan sitokin, dan gangguan autoregulasi aliran darah otak. Akibatnya,
terjadi edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, dan risiko iskemia
otak yang dapat berujung pada kematian atau kecacatan neurologis permanen.
Respon inflamasi inilah yang, meskipun bertujuan defensif, justru berkontribusi
besar terhadap kerusakan neurologis sekunder.
Manifestasi
klinis klasik meningitis terdiri dari demam, sakit kepala, leher kaku, dan
perubahan kesadaran. Namun pada banyak kasus, terutama pasien anak-anak,
lansia, atau individu imunosupresif, gejala-gejala tersebut tidak selalu muncul
secara lengkap, sehingga berisiko menunda diagnosis. Oleh karena itu, penting
bagi klinisi untuk memiliki tingkat kecurigaan tinggi terhadap gejala
neurologis akut yang tidak spesifik. Pemeriksaan penunjang utama adalah
analisis cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal, yang memberikan
informasi mengenai jumlah leukosit, kadar protein dan glukosa, serta hasil
kultur dan uji PCR untuk identifikasi patogen secara akurat dan cepat.
Terapi
meningitis bakteri merupakan kondisi emergensi yang memerlukan pemberian
antibiotik spektrum luas secara empiris sedini mungkin, bahkan sebelum hasil
laboratorium tersedia. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan profil
resistensi lokal, usia pasien, serta faktor risiko individu. Kortikosteroid
seperti deksametason sering diberikan sebagai terapi adjuvan untuk mengurangi
proses inflamasi dan menurunkan risiko sekuela neurologis, terutama pada
infeksi oleh S. pneumoniae. Di sisi lain, untuk meningitis virus, terapi
suportif biasanya cukup, kecuali pada kasus yang disebabkan oleh herpes
simpleks virus yang memerlukan asiklovir intravena.
Dalam
konteks kesehatan masyarakat, pencegahan meningitis melalui program imunisasi
menjadi pilar penting. Vaksin konjugat terhadap H. influenzae tipe b
(Hib), S. pneumoniae, dan N. meningitidis telah terbukti
menurunkan insidensi meningitis secara signifikan di berbagai belahan dunia.
Namun tantangan masih besar di negara-negara berkembang, terutama yang memiliki
keterbatasan akses vaksin dan sistem surveilans infeksi yang belum optimal.
Selain itu, adanya fenomena serotype replacement dan resistensi antimikroba
turut mempersulit pengendalian penyakit ini secara global.
Meskipun
telah banyak kemajuan dalam pemahaman patogenesis dan manajemen klinis
meningitis, angka kejadian komplikasi neurologis seperti kejang, defisit
neurologis fokal, gangguan pendengaran, hingga penurunan fungsi kognitif jangka
panjang masih tinggi, khususnya pada pasien anak-anak. Oleh karena itu, riset
yang berfokus pada strategi neuroprotektif, modulasi inflamasi, serta
pendekatan imunoterapi menjadi penting dalam pengembangan terapi masa depan.
Selain aspek biologis, dampak psikososial dan beban ekonomi akibat meningitis
juga menjadi alasan kuat perlunya pendekatan interdisipliner dalam pencegahan
dan penanganan penyakit ini.
Meningitis
tetap menjadi tantangan besar dalam bidang neurologi infeksi, tidak hanya
karena urgensi klinisnya, tetapi juga karena kompleksitas dalam diagnosis,
pengobatan, dan pencegahan. Dengan terus meningkatnya pemahaman mengenai
patofisiologi molekuler dan peran respons imun dalam progresi penyakit,
diharapkan strategi terapi dan vaksinasi ke depan akan lebih efektif dan
personalistik. Sinergi antara riset dasar, inovasi farmakologis, serta
kebijakan kesehatan publik menjadi kunci dalam menurunkan beban global penyakit
meningitis. (WA/Ow)