“JOKOWI LAYAK JADI NABI”? PERNYATAAN KADER PSI PICU BADAI KECAMAN

 

Sumber Foto: Detik

WARTAALENGKA, Cianjur - Pernyataan mengejutkan datang dari Dedy Nur Palakka, kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang menyebut Presiden Joko Widodo layak menjadi nabi. Ucapan itu langsung viral di media sosial dan menuai kecaman luas dari publik, tokoh agama, hingga politisi lintas partai.

Ungkapan tersebut disampaikan Dedy melalui unggahan di akun media sosial pribadinya. Dalam cuitan tersebut, ia menyebut Jokowi memiliki sifat-sifat kenabian seperti kejujuran, ketulusan, dan kepemimpinan yang luar biasa. Ucapan ini sontak memicu perdebatan panas, bahkan dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap ajaran agama Islam.

Sumber Foto: X

Reaksi keras datang dari Ketua Muhammadiyah Makassar, Arqam Azikin, yang menyebut pernyataan itu menyesatkan. Ia menegaskan bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW, dan menyamakan sosok manusia biasa dengan nabi merupakan bentuk pelecehan terhadap akidah. Arqam menilai bahwa ucapan semacam ini bukan hanya keliru secara teologis, tapi juga membahayakan kehidupan beragama yang harmonis.

Respons serupa juga datang dari berbagai tokoh ormas Islam lainnya yang mengecam keras pernyataan tersebut. Beberapa bahkan meminta agar Dedy diperiksa karena dianggap telah melanggar norma agama dan sosial yang berlaku.

Dari kalangan politik, Ferdinand Hutahaean dari PDIP menyebut pernyataan itu sebagai bukti bahwa nalar politik Dedy tidak sehat. Ia menegaskan bahwa pujian terhadap presiden boleh saja, namun membandingkannya dengan nabi adalah langkah yang kelewat batas. Ferdinand juga mengingatkan bahwa ucapan seperti itu justru berpotensi merugikan Presiden Jokowi sendiri karena membuka ruang bagi kritik dan olok-olok publik.

Menanggapi gelombang kritik tersebut, Dedy akhirnya memberikan klarifikasi. Ia menyatakan bahwa pernyataannya hanya bentuk kekaguman pribadi terhadap sosok Jokowi dan tidak bermaksud menistakan agama. Ia pun meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi dan menyatakan siap bertanggung jawab secara moral.

Namun klarifikasi tersebut tak serta merta meredakan kemarahan publik. Banyak pihak menilai bahwa Dedy telah menyampaikan ujaran yang tidak pantas dan seharusnya disanksi oleh partainya. PSI sendiri belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait sanksi terhadap Dedy, namun sejumlah kader internal dikabarkan merasa geram dan menyayangkan pernyataan itu.

Di media sosial, warganet merespons pernyataan Dedy dengan beragam. Sebagian besar mengecam keras, namun tak sedikit pula yang menyindirnya dengan nada satir. Banyak yang menilai bahwa komentar tersebut menunjukkan gejala kultus individu terhadap seorang pemimpin, yang sejatinya berbahaya dalam sistem demokrasi.

Pakar komunikasi politik menilai bahwa fenomena ini mencerminkan kecenderungan sebagian politisi muda yang lebih mementingkan viralitas ketimbang substansi. Narasi-narasi berlebihan seperti menyamakan pemimpin dengan nabi menunjukkan lemahnya literasi politik dan keagamaan, serta ketidakmampuan membedakan antara pujian dengan penghinaan terhadap keyakinan.

Publik mendesak PSI agar bersikap tegas. Sebagai partai yang mengusung nilai-nilai keberagaman dan toleransi, tindakan kader seperti ini dianggap mencoreng wajah partai secara keseluruhan. Jika tidak ada langkah korektif, PSI dikhawatirkan akan kehilangan kepercayaan publik, terutama dari pemilih muda yang kritis.

Kisruh ini menjadi pengingat bahwa komunikasi politik bukan sekadar soal gaya atau kreativitas. Ada batas-batas etika dan norma sosial yang harus dihormati. Mengagungkan tokoh memang sah, namun mengkultuskannya sampai ke tingkat kenabian adalah bentuk ekstremisme baru yang justru berbahaya bagi demokrasi.

Jika situasi ini tidak ditangani dengan tegas, ia dapat menjadi preseden buruk dalam diskursus publik. Narasi berlebihan yang tidak menghargai sensitivitas keagamaan dapat merusak tatanan kebhinekaan dan mengikis nilai-nilai rasionalitas dalam demokrasi.

Dalam iklim politik yang semakin polar, ucapan seperti ini bukan hanya menciptakan kegaduhan, tapi juga mencerminkan rendahnya kualitas perdebatan publik. Demokrasi butuh kritik dan apresiasi, bukan pengultusan. (WA/Ow)


Lebih baru Lebih lama