![]() |
Sumber Foto: Jakarta Notebook |
Penelitian
dalam bidang psikologi kerja dan neuroscience menunjukkan bahwa otak manusia
membutuhkan waktu untuk melakukan “detoksifikasi mental”. Aktivitas otak tidak
pernah berhenti sepenuhnya, namun dalam kondisi relaksasi—seperti saat
liburan—aktivitas jaringan default mode network meningkat. Jaringan ini
berkaitan dengan pemrosesan emosi, kreativitas, dan konsolidasi memori. Dengan
kata lain, liburan tidak hanya membantu seseorang “melepaskan lelah”, tetapi
juga mendukung proses internalisasi pengalaman dan peremajaan kognitif. Beberapa
studi fMRI bahkan mencatat peningkatan aktivitas di area prefrontal cortex
pasca masa liburan, yang dikaitkan dengan pengambilan keputusan yang lebih baik
dan peningkatan regulasi emosi.
Dari
sisi fisiologi, liburan berdampak positif terhadap variabilitas detak jantung
(heart rate variability), sebuah indikator penting dari keseimbangan sistem
saraf otonom. Penelitian longitudinal yang dilakukan pada pekerja kantoran
menunjukkan bahwa masa liburan selama minimal satu minggu dapat menurunkan
tekanan darah dan memperbaiki kualitas tidur secara signifikan. Efek ini bahkan
bertahan hingga beberapa minggu setelah kembali bekerja, menunjukkan adanya
efek pemulihan berkelanjutan. Dalam konteks ini, liburan berfungsi sebagai
“reset” terhadap sistem tubuh yang terbebani oleh tekanan kronis.
Tidak
hanya individu, perusahaan dan organisasi juga mendapat manfaat nyata dari
praktik cuti atau liburan karyawan. Berbagai meta-analisis menunjukkan bahwa
karyawan yang mengambil waktu libur secara rutin memiliki tingkat kepuasan
kerja yang lebih tinggi, produktivitas yang meningkat, dan risiko burnout yang
lebih rendah. Di sisi lain, budaya kerja yang memandang liburan sebagai bentuk
kemalasan justru terbukti kontraproduktif. Negara-negara dengan sistem cuti
tahunan yang baik justru mencatatkan indeks produktivitas tenaga kerja yang
tinggi, memperkuat argumen bahwa istirahat yang cukup adalah komponen penting
dalam keberlanjutan performa kerja jangka panjang.
Namun,
tidak semua liburan memberikan manfaat yang sama. Kualitas liburan—dalam hal
keterlepasan psikologis dari pekerjaan, pengalaman positif selama liburan,
serta aktivitas yang dilakukan—berperan penting dalam menentukan efek
restoratifnya. Liburan yang disertai dengan kekhawatiran pekerjaan, tuntutan
sosial, atau kelelahan fisik justru bisa menambah stres. Oleh karena itu,
desain liburan yang mindful dan sesuai kebutuhan psikologis individu menjadi
kunci untuk mencapai manfaat maksimal. Lingkungan alam, aktivitas fisik ringan,
serta interaksi sosial yang menyenangkan merupakan elemen yang paling sering
dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan selama dan setelah liburan.
Dari
sudut pandang evolusi, manusia sebagai makhluk biopsikososial memang tidak
dirancang untuk bekerja secara konstan tanpa jeda. Siklus aktivitas dan
istirahat merupakan pola biologis yang mengakar dalam ritme sirkadian, yang
apabila diabaikan dalam jangka panjang dapat menyebabkan disfungsi sistemik.
Maka dari itu, liburan seharusnya tidak dipandang sebagai bentuk eskapisme atau
pelarian, melainkan sebagai bentuk perawatan diri yang terukur dan berbasis
bukti ilmiah. Dengan demikian, memasukkan liburan sebagai bagian dari gaya
hidup sehat bukan hanya soal preferensi personal, tetapi juga strategi ilmiah
untuk mempertahankan fungsi optimal tubuh dan pikiran manusia. (WA/Ow)