![]() |
Sumber Foto: Halodoc |
WARTAALENGKA,
Jakarta – Tikus merupakan salah satu hewan pengerat yang paling
adaptif terhadap lingkungan manusia dan telah lama dikaitkan dengan berbagai
risiko kesehatan. Kehadiran tikus di lingkungan rumah tangga bukan sekadar
gangguan estetika atau ketidaknyamanan, melainkan sebuah isu kesehatan
masyarakat yang serius. Tikus diketahui menjadi reservoir dan vektor bagi
berbagai patogen zoonotik, termasuk bakteri, virus, dan parasit yang dapat
menginfeksi manusia melalui kontak langsung maupun tidak langsung. Keberadaan
mereka di sekitar tempat tinggal meningkatkan risiko penularan penyakit seperti
leptospirosis, salmonellosis, hantavirus, dan bahkan pes yang secara historis
pernah menyebabkan pandemi global.
Mekanisme
penularan penyakit oleh tikus sangat beragam. Kontaminasi makanan dan air oleh
urin atau feses tikus merupakan rute yang paling umum. Leptospirosis, misalnya,
disebabkan oleh bakteri Leptospira interrogans yang dikeluarkan melalui
urin tikus dan dapat memasuki tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau
mukosa. Penyakit ini dapat berkembang menjadi bentuk yang parah, dengan
manifestasi gagal ginjal, perdarahan paru, dan bahkan kematian. Selain itu,
tikus juga dapat membawa kutu atau tungau yang menjadi vektor bagi patogen
lain, memperluas dampak epidemiologis mereka secara tidak langsung. Di beberapa
wilayah endemik, wabah akibat tikus masih sering terjadi terutama saat musim
hujan atau setelah bencana alam yang merusak sanitasi lingkungan.
Tikus
juga merupakan ancaman terhadap keamanan pangan di tingkat rumah tangga.
Kemampuannya menggigit kemasan makanan dan mengkontaminasi bahan pangan
menimbulkan kerugian ekonomi serta risiko konsumsi makanan yang telah terpapar
bakteri patogen. Paparan kronis terhadap lingkungan yang terkontaminasi oleh
ekskresi tikus juga dapat memicu reaksi alergi, asma, dan gangguan pernapasan,
khususnya pada anak-anak. Tak jarang, infestasi tikus juga berkorelasi dengan
masalah kesehatan mental, menimbulkan rasa jijik, stres, dan gangguan tidur
yang berkepanjangan pada penghuni rumah.
Faktor
yang memungkinkan tikus berkembang biak di lingkungan domestik sangat berkaitan
dengan perilaku manusia. Penumpukan sampah organik, kurangnya kebersihan dapur,
serta keberadaan celah dan lubang pada bangunan menciptakan habitat ideal bagi
spesies seperti Rattus rattus dan Rattus norvegicus. Kondisi
sosial ekonomi juga turut berperan; wilayah padat penduduk dengan infrastruktur
buruk lebih rentan terhadap infestasi tikus. Namun, kesadaran masyarakat akan
dampak kesehatan dari keberadaan tikus masih sangat rendah, sehingga tindakan
pengendalian sering kali dilakukan hanya setelah terjadi insiden atau keluhan
serius.
Upaya
pengendalian tikus seharusnya menjadi bagian dari program kesehatan lingkungan
berbasis komunitas. Pendekatan terpadu yang melibatkan edukasi masyarakat,
pengelolaan sampah yang efektif, perbaikan struktur bangunan, serta penggunaan
rodentisida secara hati-hati dan sesuai standar sangat diperlukan untuk
menurunkan populasi tikus secara berkelanjutan. Namun demikian, penggunaan
bahan kimia harus diimbangi dengan evaluasi dampak ekologis dan potensi
resistensi. Intervensi yang bersifat promotif dan preventif, terutama di
tingkat rumah tangga, harus menjadi prioritas kebijakan kesehatan publik yang
tidak lagi memandang infestasi tikus sebagai masalah rumah tangga semata,
melainkan sebagai indikator kegagalan sistem sanitasi dan tata kelola
lingkungan.
Diperlukan
lebih banyak penelitian interdisipliner untuk memahami dinamika populasi tikus
urban, resistensi mereka terhadap pengendalian konvensional, serta hubungan
langsung antara infestasi tikus dan beban penyakit tertentu di komunitas
perkotaan. Dalam era urbanisasi dan perubahan iklim yang cepat, pendekatan
ilmiah terhadap pengelolaan vektor domestik seperti tikus harus menjadi bagian
integral dari strategi nasional pencegahan penyakit menular. Mengabaikan bahaya
tikus di rumah sama dengan membuka pintu bagi ancaman biologis yang dapat
menyebar secara diam-diam namun destruktif. (WA/Ow)