![]() |
Sumber Foto: Kota Palangkaraya |
WARTAALENGKA,
Jakarta - Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia setiap tanggal 17
Agustus identik dengan berbagai perlombaan rakyat yang melibatkan partisipasi
masyarakat dari berbagai kalangan usia. Salah satu lomba yang cukup populer
adalah permainan menggunakan tepung, seperti lomba estafet tepung atau lomba
mencari karet di tumpukan tepung. Meskipun permainan ini dianggap menyenangkan,
paparan tepung dalam jumlah besar dapat menimbulkan risiko kesehatan, khususnya
terhadap sistem pernapasan. Risiko ini sering kali kurang disadari oleh
masyarakat, padahal efek jangka panjangnya berpotensi serius.
Secara
ilmiah, tepung merupakan partikel padat berukuran mikron yang dapat melayang di
udara dan terhirup oleh manusia. Inhalasi partikel tepung dapat mengiritasi
mukosa hidung, tenggorokan, dan saluran pernapasan bagian bawah. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pekerja di industri pengolahan tepung memiliki
prevalensi tinggi terhadap gejala pernapasan seperti batuk kronis, sesak napas,
dan bronkitis. Kondisi ini dikenal sebagai baker’s asthma, yaitu asma
akibat pajanan debu tepung. Dengan demikian, meskipun sifat paparan dalam lomba
hanya sesaat, konsentrasi tepung yang tinggi di udara dapat menimbulkan gejala
akut seperti batuk, bersin, dan iritasi saluran pernapasan.
Paparan
tepung pada anak-anak yang ikut serta dalam perlombaan lebih berbahaya karena
saluran pernapasan mereka lebih sempit dan sistem imun masih berkembang.
Partikel kecil dari tepung dapat menembus hingga ke alveolus paru-paru, memicu
respons inflamasi yang berisiko menimbulkan gangguan jangka panjang, terutama
pada anak-anak dengan riwayat asma atau alergi. Pada beberapa kasus, reaksi
alergi dapat muncul berupa sesak napas mendadak, ruam kulit, hingga anafilaksis
ringan yang memerlukan penanganan medis segera.
Selain
itu, tepung yang digunakan pada lomba 17 Agustus umumnya adalah tepung terigu
atau beras dalam jumlah besar tanpa pengendalian lingkungan yang memadai. Saat
tepung ditebarkan atau dilempar, konsentrasi debu di udara bisa mencapai level
yang setara dengan paparan industri. Hal ini meningkatkan risiko tidak hanya
bagi peserta, tetapi juga bagi penonton yang berada di sekitar arena
perlombaan. Terutama jika perlombaan dilakukan di ruang tertutup, akumulasi
partikel tepung di udara menjadi semakin pekat dan memperbesar bahaya bagi
sistem pernapasan.
Faktor
risiko juga meningkat pada individu dengan penyakit penyerta seperti asma,
rhinitis alergi, atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Bagi kelompok
ini, paparan tepung dapat memperburuk gejala yang sudah ada, memicu serangan
akut, atau bahkan menurunkan fungsi paru secara signifikan. Efek jangka panjang
yang mungkin terjadi adalah penurunan kapasitas vital paru, gangguan
oksigenasi, serta risiko lebih tinggi terhadap infeksi saluran pernapasan.
Dari
perspektif kesehatan masyarakat, penting untuk menyoroti bahwa lomba
menggunakan tepung pada perayaan kemerdekaan memiliki nilai budaya dan
rekreasional yang tinggi, namun keselamatan peserta tetap harus menjadi
prioritas. Edukasi mengenai bahaya paparan tepung perlu disampaikan secara
luas, terutama kepada panitia penyelenggara dan masyarakat umum. Alternatif
permainan dengan menggunakan bahan lain yang lebih aman, seperti tepung jagung
khusus hypoallergenic atau media non-debu seperti potongan kertas warna, dapat
menjadi solusi untuk tetap menjaga semangat perayaan tanpa mengorbankan
kesehatan.
Kesimpulannya, tepung yang digunakan dalam lomba 17 Agustus dapat menimbulkan bahaya signifikan terhadap sistem pernapasan, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Gejala akut seperti batuk, iritasi, dan sesak napas bisa muncul segera setelah paparan, sementara risiko jangka panjang meliputi asma akibat debu tepung dan gangguan paru kronis. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran kolektif untuk mengurangi atau mengganti jenis lomba yang melibatkan tepung, demi menjaga kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak yang lebih rentan terhadap paparan partikel debu. (WA/Ow)