“SENDIRIAN TAPI BAHAGIA?” — FENOMENA SOLO TRAVELING DAN ALASAN MENGAPA SEMAKIN BANYAK ORANG MEMILIHNYA

Sumber Foto: Haluan Lifestyle

WARTAALENGKA, Cianjur –Dalam era yang ditandai oleh konektivitas tanpa batas, justru semakin banyak individu yang secara sadar memilih untuk melakukan perjalanan seorang diri. Fenomena ini dikenal sebagai solo traveling, dan statistik global menunjukkan bahwa ini bukan sekadar tren musiman, melainkan pergeseran gaya hidup yang signifikan.

Laporan dari Statista (2024) menunjukkan peningkatan sebesar 42% dalam pencarian kata kunci “solo travel” di mesin pencari global selama tiga tahun terakhir. Platform pemesanan akomodasi seperti Booking.com dan Airbnb pun mencatat lonjakan permintaan untuk penginapan satu orang. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara Barat, tetapi juga tumbuh pesat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Alasan di balik tren ini sangat kompleks dan tidak bisa dijelaskan secara sederhana. Secara sosiologis, banyak orang—terutama dari kalangan Gen Z dan milenial—menganggap perjalanan sendiri sebagai bentuk self-reclamation. Dalam survei dari Solo Traveler Network (2023), 68% responden menyebut solo traveling sebagai cara untuk “mengenal diri lebih dalam”, sementara 52% lainnya menyebutnya sebagai “bentuk kebebasan absolut”.

Penelitian dari University of Surrey (2022) menegaskan bahwa perjalanan seorang diri memberi ruang bagi refleksi personal, pengambilan keputusan otonom, dan peningkatan rasa percaya diri. Aspek ini tidak selalu tercapai dalam perjalanan kelompok yang sering kali dikompromikan oleh keinginan kolektif.

Secara psikologis, solo traveling juga memiliki manfaat terapeutik. Studi dari Journal of Travel Research (2021) menemukan bahwa pelancong solo mengalami peningkatan signifikan dalam indikator kesejahteraan psikologis, seperti emotional resilience, problem-solving skill, dan empathy development. Hal ini dipicu oleh seringnya mereka harus berinteraksi dengan orang asing, memecahkan masalah sendiri, dan beradaptasi dalam lingkungan baru.

Namun, tak sedikit pula yang memandang tren ini sebagai refleksi dari meningkatnya kesepian sosial (social loneliness) di era digital. Studi dari University of California (2023) menyoroti bahwa banyak orang muda memilih bepergian sendiri karena merasa tidak memiliki jaringan sosial yang kuat untuk berbagi pengalaman. Di sisi lain, ketergantungan pada teknologi menjadikan mereka merasa “tidak sendirian” karena tetap terkoneksi dengan dunia maya.

Perempuan menjadi kelompok dominan dalam tren ini. Menurut data dari Hostelworld (2023), 63% solo traveler adalah perempuan, dan mayoritas dari mereka melaporkan peningkatan rasa empowerment setelah melakukan perjalanan sendiri. Ini menjadi indikator penting bahwa solo traveling tidak lagi diasosiasikan dengan risiko, melainkan dengan self-liberation.

Dari sisi ekonomi, industri pariwisata mulai merespons fenomena ini dengan menyediakan lebih banyak opsi individual-friendly: kamar tunggal, itinerary fleksibel, dan destinasi yang ramah untuk pelancong solo. Negara seperti Jepang, Islandia, dan Portugal bahkan mempromosikan diri sebagai “surga bagi solo traveler”.

Namun, bukan berarti tanpa risiko. Keamanan menjadi isu utama. Data dari Global Peace Index (2023) menunjukkan bahwa pelancong tunggal lebih rentan terhadap tindak kejahatan, terutama di negara dengan indeks keamanan rendah. Oleh karena itu, edukasi dan perencanaan menjadi aspek krusial sebelum memulai perjalanan solo.

Di sisi budaya, masyarakat urban modern mulai melihat solo traveling sebagai bentuk prestise sosial. Media sosial berperan besar dalam hal ini. Gambar-gambar puitis tentang seseorang yang menatap matahari terbenam di Santorini atau membaca buku di café tersembunyi Kyoto menjadi simbol gaya hidup mindful dan mandiri.

Akan tetapi, tren ini juga menghadirkan paradoks. Di tengah glorifikasi kebebasan individu, apakah kita secara tidak sadar sedang menormalisasi keterasingan sosial? Apakah solo traveling benar-benar bentuk kemandirian, atau justru eskapisme dari dunia yang terlalu bising dan kompleks?

Sejumlah pakar menyarankan pendekatan kritis. Dr. Laura Bianchi dari University of Amsterdam mengingatkan bahwa solo traveling sebaiknya dipahami sebagai proses intentional solitude yang sehat, bukan sekadar pelarian dari relasi sosial yang gagal.

Dalam konteks pendidikan karakter, perjalanan seorang diri dapat menjadi ruang pembelajaran hidup yang autentik. Anak muda belajar disiplin, toleransi, adaptasi, dan tanggung jawab melalui pengalaman nyata, bukan dari teori atau seminar motivasi.

Kesimpulannya, solo traveling bukan lagi subkultur marginal, tetapi telah menjadi ekspresi gaya hidup modern yang sarat makna. Ia bisa menjadi sarana penguatan diri, tetapi juga bisa mencerminkan kekosongan relasi sosial. Maka yang paling penting bukan pada status “sendirian atau tidak”, melainkan pada kesadaran mengapa seseorang memilih untuk sendiri. (WA/Ow)


Lebih baru Lebih lama