"BILIK ASMARA DI BALIK JERUJI: KETIKA PRIVASI NARAPIDANA MENJADI KOMODITAS"

Sumber Foto: Lambe Turah

WARTAALENGKA, Cianjur - Di balik pagar tinggi dan jeruji besi Lapas Kelas IIA Pamekasan, tersimpan kisah yang menggugah rasa penasaran publik. Bukan soal pelarian narapidana atau kekerasan antarpenghuni, melainkan tentang keberadaan sebuah fasilitas yang disebut bilik asmara. Bilik ini konon dirancang sebagai ruang khusus agar narapidana dapat bertemu pasangan sah mereka secara privat. Namun, wacana yang berkembang justru membelok: bilik tersebut diduga disewakan dengan tarif hingga ratusan ribu rupiah per jam.

Dalam sejumlah kesaksian, termasuk dari mantan istri narapidana, terungkap bahwa tarif sewa bilik berkisar antara Rp400.000 hingga Rp500.000 per jam. Nominal ini tentu saja mengundang pertanyaan publik—apakah fasilitas seperti itu seharusnya dikenakan biaya, dan jika iya, siapa yang mengelolanya secara resmi?

Narasi yang berkembang tidak sekadar soal uang, tetapi menyentuh ranah etika dan keadilan. Di satu sisi, hak narapidana untuk menjalani kehidupan pribadi secara layak memang diatur oleh regulasi, termasuk hak menjalin hubungan dengan pasangan sah. Namun di sisi lain, bila hak tersebut menjadi objek transaksi—apalagi jika bersifat informal atau tidak tercatat secara administrasi—maka muncullah kekaburan antara fasilitas pembinaan dan praktik komersialisasi ruang privat.

Respons dari pihak Lapas pun memunculkan berbagai tafsir. Ada pengakuan tentang keberadaan bilik, tetapi belum ada kejelasan sistematis mengenai prosedur pemanfaatannya. Apakah fasilitas tersebut benar-benar tersedia secara legal dan tanpa pungutan? Atau justru menjadi ruang abu-abu yang dimanfaatkan oleh oknum?

Fenomena bilik asmara bukan hal baru dalam sistem pemasyarakatan global. Di beberapa negara, seperti Brasil dan Meksiko, kunjungan intim bahkan dilegalkan dengan pengaturan ketat, sebagai bagian dari hak asasi narapidana. Namun di Indonesia, diskusi ini masih terbilang tabu dan minim regulasi eksplisit, sehingga mudah menjadi lahan spekulasi dan asumsi liar.

Publik kini dihadapkan pada dilema moral sekaligus administratif. Apakah fasilitas privat untuk narapidana adalah bentuk pemanusiaan sistem pemasyarakatan, atau justru membuka celah komersialisasi layanan yang seharusnya menjadi hak? Apakah ini bagian dari pembinaan atau bentuk privilese terselubung?

Alih-alih menjatuhkan vonis moral sepihak, yang dibutuhkan saat ini adalah transparansi dan kejelasan kebijakan. Jika memang bilik asmara diakui sebagai kebutuhan dalam sistem pembinaan, maka harus ada aturan tertulis, pengawasan, dan skema pembiayaan yang jelas. Namun jika sebaliknya, fasilitas itu hanya eksis di bawah permukaan dan dikelola secara tidak resmi, maka perlu ada evaluasi menyeluruh agar tidak mencederai prinsip keadilan pemasyarakatan.

Lapas bukan sekadar tempat penghukuman, melainkan ruang pemulihan. Namun ketika ruang-ruang personal yang mestinya dijaga martabatnya berubah menjadi potensi bisnis terselubung, saat itulah publik berhak bertanya: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari jeruji yang terbuka sebagian? (WA/Ow)

Lebih baru Lebih lama