KETIKA PEMILU TERBELAH: MENATA ULANG DEMOKRASI DI MEJA MAHKAMAH

Sumber foto: Antarafoto/Fikri Yusuf

WARTAALENGKA, Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu lokal disambut dengan reaksi beragam. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan kesiapan mereka menjalankan putusan tersebut. Di sisi lain, kritik tajam datang dari kalangan legislatif yang menilai langkah MK melampaui kewenangannya.

Putusan ini secara tegas mengakhiri skema lima kotak yang digunakan pada Pemilu 2024—Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota—dan memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan lokal mulai 2029. Tujuannya, menurut MK, untuk “menjaga kualitas demokrasi, meningkatkan efisiensi teknis penyelenggaraan, serta memberi waktu dan ruang yang cukup bagi pemilih untuk mempertimbangkan pilihannya secara matang.”

KPU & Bawaslu: Tunduk pada Konstitusi, Siap Beradaptasi

Menanggapi putusan tersebut, Komisioner KPU Idham Holik menyatakan lembaganya saat ini tengah melakukan kajian mendalam bersama jajaran KPU daerah. Kajian tersebut akan menjadi masukan strategis bagi pembentuk undang-undang, terutama dalam konteks revisi UU Pemilu yang kini dinanti.

“Saat ini kami fokus melaku­kan kajian bersama KPU dae­rah. Nanti hasil kajian tersebut itu akan disampaikan kepada pembentuk undang-undang se­bagai bentuk masukan strategis dari penyelenggara,” ujar Idham di Jakarta.

Ia juga menyinggung hasil survei yang menunjukkan adanya kejenuhan politik di tengah masyarakat selama Pemilu Serentak 2024. Menurutnya, temuan psikologis ini menjadi salah satu indikator penting dalam mengevaluasi skema penyelenggaraan Pemilu ke depan.

“Dari sisi psikologi politik, kemarin ini kan banyak temuan survei yang mengatakan bahwa ada kejenuhan politik gitu. Itu hasil survei ya, hasil survei dan pendapat ahli mengatakan demikian,” tambahnya.

Idham memastikan bahwa KPU akan siap melaksanakan apapun keputusan yang tertuang dalam revisi Undang-Undang.

“Sebagai pelaksana Undang-Undang Pemilu, dalam me­nyelenggarakan Pemilu, KPU berpedoman Undang-Undang Pemilu dan Pilkada,” pungkasnya.

Nada yang sama disuarakan Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja. Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak mempermasalahkan isi putusan dan akan menyesuaikan dengan perubahan regulasi yang disusun oleh Pemerintah dan DPR.

“Iya, kemarin sudah ditang­gapi beberapa kali ya. Tidak ma­salah, tergantung pembuat pu­tusan. Kami akan menjalankan semua putusan MK,” tegas Bagja.

Kritik Legislator: “MK Telah Melampaui Batas”

Namun, tidak semua pihak menyambut keputusan MK dengan tangan terbuka. Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, Lestari Moerdijat, menyampaikan kritik keras terhadap putusan tersebut. Ia menilai, keputusan itu bertolak belakang dengan putusan-putusan MK sebelumnya dan berisiko menciptakan pelanggaran konstitusional.

“Apabila putusan MK dilak­sanakan, justru dapat mengaki­batkan pelanggaran konstitusi,” kata Lestari pada 1 Juli 2025.

Lestari mengacu pada Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pemisahan antara Pemilu nasional dan lokal, menurutnya, berpotensi memperpanjang masa jabatan DPRD di luar batas lima tahun, yang dapat melanggar prinsip dasar konstitusional.

“Nah, ketika setelah 5 tahun (periode) DPRD tidak dilakukan Pemilu DPRD, maka terjadi pelanggaran konstitusional,” tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa MK telah bersikap sebagai negative legislator yang masuk ke ranah kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang seharusnya menjadi domain Pemerintah dan DPR.

“Semua harus kembali kepada ketaatan konstitusi, di mana konsti­tusi memerintahkan Pemilu (pileg dan pilpres) dilaksanakan setiap 5 tahun sekali,” tandasnya.

Polemik Konstitusional vs Rasionalitas Teknis

Di balik perdebatan ini, mengemuka dua arus pemikiran besar. Di satu sisi, MK mencoba memulihkan deliberative democracy, yakni dengan memberi ruang dan waktu kepada pemilih agar tidak terjebak dalam tekanan pilihan serentak yang masif dan kompleks. Di sisi lain, legislator seperti Lestari Moerdijat khawatir akan terjadinya disrupsi terhadap keselarasan norma konstitusi yang telah mapan.

Kajian akademik sebelumnya juga menunjukkan bahwa pemilu serentak lima kotak kerap menimbulkan kelelahan pemilih (voter fatigue), lemahnya konsentrasi dalam memilih calon legislatif, serta risiko meningkatnya suara tidak sah.

Namun, tantangan logistik, anggaran ganda, dan kekosongan jabatan di tingkat lokal menjadi pekerjaan rumah serius yang kini dilemparkan ke meja pembentuk undang-undang. Pemerintah dan DPR harus bergerak cepat untuk menyusun desain hukum baru yang tidak hanya sesuai amanat MK, tetapi juga taat asas konstitusi.

Kesimpulan: Sebuah Titik Persimpangan Demokrasi

Putusan MK ini menandai titik balik penting dalam tata kelola pemilu Indonesia. Pertarungan antara idealisme teknokratik dan puritanisme konstitusional tampaknya tidak akan selesai dalam waktu dekat. Namun satu hal yang pasti: desain pemilu ke depan tak hanya ditentukan oleh lembaga yudikatif atau legislatif semata, tapi oleh kualitas deliberasi publik dan transparansi pembentukan kebijakan yang inklusif.

Waktu terus berjalan menuju 2029. Dan Indonesia kini berada dalam momen krusial untuk menata ulang fondasi demokrasinya—apakah tetap bertumpu pada prinsip simultanitas atau memberi ruang pada pemisahan yang lebih rasional namun sarat implikasi. (WA)

Lebih baru Lebih lama