WARTAALENGKA, Cianjur - Konsumsi gula telah menjadi bagian
dari gaya hidup modern yang tidak dapat dihindari. Gula terdapat dalam hampir
semua makanan olahan dan minuman ringan yang beredar luas di pasaran. Meski
telah lama diketahui sebagai pemicu utama obesitas dan diabetes, riset terbaru
menunjukkan bahwa dampak konsumsi gula berlebih jauh lebih kompleks dan
berbahaya—terutama terhadap kesehatan kulit dan fungsi otak. Kaitan antara
kelebihan gula, inflamasi sistemik, serta gangguan metabolisme otak dan
kerusakan kulit menjadi perhatian besar kalangan medis dan ilmiah.
Salah satu mekanisme biologis paling
merugikan akibat konsumsi gula berlebih adalah glikasi. Ini merupakan proses
non-enzimatik di mana molekul glukosa berikatan dengan protein, khususnya
kolagen dan elastin—dua komponen penting dalam menjaga elastisitas dan struktur
kulit. Hasil dari proses ini adalah terbentuknya advanced glycation end
products (AGEs), molekul yang tidak hanya merusak struktur jaringan tetapi juga
memicu peradangan. AGEs membuat kulit menjadi lebih cepat kendur, kusam, muncul
keriput, dan lebih mudah meradang. Penelitian dermatologis dalam Journal of
Clinical and Aesthetic Dermatology menyebutkan bahwa kadar AGEs yang tinggi
berkorelasi kuat dengan penurunan fungsi pelindung kulit dan peningkatan
sensitivitas terhadap sinar UV.
Lebih dari sekadar ancaman estetika,
kelebihan gula juga menimbulkan dampak mendalam pada otak manusia. Otak
merupakan organ yang sangat sensitif terhadap kadar glukosa dalam darah. Dalam
jangka pendek, konsumsi gula memang dapat memberikan lonjakan energi dan
suasana hati. Namun dalam jangka panjang, kelebihan gula justru memicu
resistensi insulin di otak. Kondisi ini mengganggu sinyal metabolik penting,
menghambat plastisitas sinaptik, dan mengganggu pembentukan memori. Studi di Frontiers
in Neuroendocrinology menyatakan bahwa konsumsi kronis makanan tinggi gula
berkaitan dengan penurunan fungsi hippocampus—bagian otak yang mengatur
pembelajaran dan ingatan.
Konsumsi gula berlebih juga memicu
kondisi yang disebut neuroinflamasi—peradangan kronis pada jaringan otak. Ini
melibatkan aktivasi mikroglia, sel kekebalan otak, yang jika berlangsung lama
dapat menyebabkan kerusakan saraf, gangguan kognitif, dan meningkatkan risiko
penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer. Dalam Journal of
Neuroinflammation, disebutkan bahwa lonjakan kadar glukosa memicu pelepasan
sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α dan IL-6 yang memperburuk kondisi inflamasi
di otak.
Kondisi di Indonesia memperparah
risiko tersebut. Data Riskesdas 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 58% penduduk
Indonesia mengonsumsi gula melebihi batas harian yang direkomendasikan WHO,
yaitu 50 gram per hari. Banyak masyarakat tidak menyadari bahwa gula
tersembunyi ada dalam berbagai produk makanan pokok, termasuk roti, sereal,
saus, dan makanan ringan. Minimnya literasi gizi dan regulasi pelabelan gizi
membuat konsumen sulit membatasi asupan gula secara efektif.
Selain itu, muncul pula fenomena yang
disebut sugar-gut-brain axis—yakni hubungan antara gula, usus, dan otak. Gula
berlebih menyebabkan disbiosis atau ketidakseimbangan mikrobiota usus, yang
kemudian memicu peradangan dan melemahnya fungsi sawar usus (leaky gut).
Endotoksin dari bakteri jahat dapat menembus ke aliran darah dan mencapai otak,
memperparah neuroinflamasi dan gangguan suasana hati.
Untuk mengurangi konsumsi gula,
berbagai alternatif pemanis rendah kalori kini tersedia di pasaran. Pemanis
alami seperti stevia, monk fruit, dan eritritol tidak meningkatkan kadar gula
darah dan aman bagi mikrobiota usus. Dalam Nutrients Journal, disebutkan
bahwa stevia memiliki efek antioksidan dan dapat membantu menjaga kestabilan
metabolik. Eritritol, meskipun berasal dari alkohol gula, tidak difermentasi
oleh bakteri usus sehingga tidak menyebabkan gangguan pencernaan atau lonjakan
glukosa.
Dengan bukti ilmiah yang semakin kuat,
kini menjadi penting untuk menekan konsumsi gula dalam kehidupan sehari-hari.
Strategi seperti membaca label gizi, menghindari minuman manis, memperbanyak
asupan serat dan makanan utuh, serta memilih pemanis alami adalah langkah yang
dapat meningkatkan kualitas hidup secara signifikan.
Mengurangi asupan gula bukan hanya
tentang menjaga lingkar pinggang, tetapi juga investasi jangka panjang bagi
kesehatan otak dan kulit. Upaya preventif seperti ini menjadi penting di tengah
melonjaknya prevalensi penyakit degeneratif dan inflamasi akibat pola makan
tinggi gula di era modern. (WA/Ow)