WARTAALENGKA, Jakarta - Untuk
pertama kalinya dalam sejarah modern Indonesia, seorang Wakil Presiden akan
berkantor di Papua. Gibran Rakabuming Raka—putra sulung Presiden
sebelumnya—akan menjalankan mandat langsung dari Presiden Prabowo Subianto
untuk menangani berbagai problem krusial di wilayah paling timur Indonesia itu.
Kabar ini disampaikan oleh Menteri Koordinator
Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dalam
forum Laporan Tahunan Komnas HAM 2025. Menurutnya, Gibran tidak hanya
ditugaskan mempercepat pembangunan Papua, tetapi juga akan berkantor
langsung di sana demi menangani problem hak asasi manusia (HAM) yang selama
ini tak kunjung selesai.
"Sekarang ini wakil presiden akan diberikan
penugasan bahkan mungkin ada kantornya di sana untuk bekerja langsung dari
Papua untuk menangani masalah ini," ujar Yusril melalui kanal YouTube
Komnas HAM, Selasa (8/7/2025).
Kantor di Papua: Antara Keberanian Politik dan Ujian Etis
Langkah menempatkan seorang wapres di Papua bukan sekadar pergeseran
administratif. Ini adalah pernyataan politik. Setelah sekian lama Papua
dipandang sebagai halaman belakang republik—tempat proyek-proyek pembangunan
dipaksakan dari Jakarta dan pelanggaran HAM kerap diredam dalam wacana
"keamanan nasional"—kehadiran Wakil Presiden di jantung konflik
adalah preseden baru yang tidak bisa diabaikan.
Namun, seberapa dalam Gibran
bisa masuk ke lapisan persoalan Papua? Sejauh mana ia hanya menjadi corong
kebijakan pusat, atau benar-benar menjadi jembatan antara negara dan rakyat
yang selama ini merasa dijauhkan?
Agenda Khusus dari Prabowo: Pembangunan & HAM
Menurut
Yusril, tugas Gibran mencakup dua hal utama: mempercepat pembangunan
infrastruktur dan memastikan aparat keamanan bertindak dalam koridor HAM. Ini
adalah penugasan ganda yang, secara historis, tidak pernah berhasil dijalankan
bersamaan.
"Saya pikir ini konsen yang urgent tentu tidak
hanya pembangunan fisik termasuk juga penanganan masalah HAM bagaimana aparat
keamanan kita menangani masalah Papua dan saya kira HAM itu harus kita
tegakkan," katanya.
Dalam narasi resmi, pendekatan yang dibawa Prabowo
disebut sebagai sinergi antara kemajuan ekonomi dan stabilitas sosial. Tapi
banyak pihak mewaspadai bahwa pendekatan tersebut bisa tergelincir menjadi
sekadar "securitization of development"—pembangunan yang tetap
dikawal militer tanpa mengubah relasi kuasa.
Pengawasan
Aparat: Retorika atau Reformasi?
Penugasan
kepada Gibran juga menyentuh isu paling sensitif: pengawasan terhadap aparat
keamanan. Ini mencerminkan kekhawatiran lama bahwa pelanggaran HAM di Papua bukan
hanya persoalan operasional, melainkan sistemik. Dan selama ini, kontrol
terhadap aktor-aktor bersenjata kerap gagal dilakukan dari Jakarta.
Dengan menempatkan wakil presiden langsung di
Papua, Presiden Prabowo tampaknya ingin menghapus sekat birokratis dan
meningkatkan kontrol sipil. Tapi tetap muncul pertanyaan: Apakah Gibran
benar-benar punya otoritas, atau hanya menghadirkan simbolisme baru dari pusat?
Pelajaran dari Masa Lalu: Ma’ruf Amin dan Ekonomi Syariah
Yusril mengakui, ini adalah pertama kalinya Prabowo memberi penugasan
khusus kepada Gibran, berbeda dengan masa pemerintahan Jokowi di mana Wapres
Ma’ruf Amin ditugasi mendorong ekonomi syariah.
"Kalau Pak Kiai Ma’ruf
Amin dulu diberikan tugas pengembangan ekonomi syariah oleh Pak Jokowi dan
sekarang ini akan diberikan penugasan ke wapres," katanya.
Namun Papua bukan ekonomi
syariah. Papua adalah konflik multidimensi yang melibatkan luka sejarah, trauma
kolektif, perlawanan bersenjata, marginalisasi etnis, dan campur tangan
internasional. Ia tidak
bisa diselesaikan dengan pendekatan teknokratis semata.
Kesimpulan:
Harapan atau Hanya Pergantian Wajah?
Penugasan Gibran bisa menjadi titik balik baru dalam sejarah hubungan negara dan Papua—jika dijalankan dengan keberanian, empati, dan pendekatan multidisipliner. Tapi ia juga bisa menjadi sandiwara baru bila tidak dibarengi dengan perubahan paradigma dari pusat: bahwa Papua bukan objek pembangunan, melainkan subjek yang harus dilibatkan penuh.
Gibran kini memegang salah satu misi terberat di republik ini. Bukan hanya soal memantau proyek dan birokrasi, tetapi soal memulihkan kepercayaan rakyat Papua terhadap negara. (WA)