![]() |
Sumber Foto: Siloam Hospitals |
WARTAALENGKA,
Cianjur - Penyakit jantung tidak lagi identik dengan usia tua.
Semakin banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa kerusakan sistem
kardiovaskular dimulai sejak masa remaja, bahkan sebelum seseorang menginjak
usia 30 tahun. Menurut World Health Organization (WHO), penyakit jantung
koroner tetap menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia, dengan lebih dari
17 juta kasus per tahun—banyak di antaranya menyerang usia produktif.
Ironisnya,
banyak individu merasa kebal karena merasa "masih muda" dan bebas
dari risiko. Padahal, studi oleh Framingham Heart Study—penelitian jangka
panjang paling berpengaruh dalam bidang kardiovaskular—menunjukkan bahwa
perubahan dalam pembuluh darah bisa dimulai sedini usia belasan tahun.
Kebiasaan
kecil seperti jarang bergerak, konsumsi makanan tinggi garam, lemak jenuh,
minuman berpemanis, serta tidur tidak teratur, menjadi "silent
killer" yang perlahan memperburuk kondisi jantung. Bahkan, menurut jurnal Circulation,
pola makan remaja yang tinggi ultra-processed food berhubungan langsung dengan
peningkatan risiko plak pada arteri koroner.
Lebih
mengejutkan lagi, American Heart Association dalam studi 2023-nya melaporkan
bahwa remaja yang memiliki kebiasaan duduk lebih dari 6 jam per hari tanpa
aktivitas fisik memiliki kemungkinan 2,3 kali lebih besar mengembangkan sindrom
metabolik—faktor utama penyebab penyakit jantung.
Berolahraga
saja tidak cukup jika masih konsumsi gorengan setiap hari. Jurnal Lancet
tahun 2022 menyimpulkan bahwa diet berkontribusi lebih besar terhadap
kerusakan pembuluh darah dibanding kurang olahraga. Terlalu banyak gula dan
natrium menyebabkan peradangan kronis dan stres oksidatif yang mempercepat
kerusakan endotel (lapisan dalam pembuluh darah).
Yang
sering terlewat: stres. Riset dari Harvard Medical School membuktikan bahwa
stres kronis meningkatkan hormon kortisol yang mengganggu tekanan darah,
menyebabkan inflamasi sistemik, dan memperburuk metabolisme kolesterol. Anak
muda yang hidup dalam tekanan—baik karena studi, pekerjaan, atau sosial
media—berada dalam bahaya permanen.
Sayangnya,
kesadaran skrining dini juga sangat rendah. Banyak anak muda tidak pernah
memeriksa tekanan darah, kolesterol, atau kadar gula darah, bahkan ketika
memiliki riwayat keluarga penyakit jantung. Padahal, genetik hanya menyumbang
15–20% dari risiko total; sisanya datang dari gaya hidup.
Solusinya?
Bukan sekadar "hindari gorengan", tapi perubahan gaya hidup holistik
sejak dini. Penelitian terbaru dari European Society of Cardiology menunjukkan
bahwa tidur teratur (7–9 jam per malam), konsumsi sayur-buah minimal 400
gram/hari, aktivitas fisik sedang 150 menit/minggu, dan mengelola stres dengan
teknik seperti meditasi atau terapi kognitif, secara signifikan menurunkan
risiko penyakit jantung hingga 80% dalam jangka panjang.
Juga
penting: berhenti merokok. Bahkan rokok elektrik (vape) yang dianggap “lebih
aman” tetap memicu vasokonstriksi dan kerusakan endotel. British Medical
Journal pada 2024 menegaskan bahwa pengguna vape remaja memiliki biomarker
inflamasi lebih tinggi dibanding non-perokok.
Air
putih juga berperan. Dehidrasi kronis meningkatkan viskositas darah dan
memperberat kerja jantung. Studi dari NIH menunjukkan bahwa remaja yang minum
air kurang dari 1 liter/hari memiliki denyut jantung istirahat lebih tinggi dan
tekanan darah sistolik lebih besar.
Tidak
hanya itu, kualitas hubungan sosial dan kesehatan mental juga memiliki korelasi
kuat. Kesepian kronis meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 29% menurut
meta-analisis di jurnal Heart tahun 2021. Artinya, punya teman yang
mendukung bisa jadi intervensi preventif yang tidak kalah penting dari vitamin.
Kesimpulan
penting: penyakit jantung bukan milik orang tua. Ia dibentuk perlahan sejak
masa muda melalui gaya hidup yang buruk dan diabaikan. Pencegahan harus dimulai
sekarang, sebelum angka usia menjadi sekadar statistik.
Dalam
era di mana gaya hidup "hustle culture" dipuja-puji, penting bagi
generasi muda untuk sadar bahwa kecepatan hidup tidak boleh mengorbankan
kesehatan jantung. Karena jantung tidak pernah berhenti bekerja, bahkan saat
kita tidur. Pertanyaannya: apakah kita sudah memberinya istirahat yang layak? (WA/Ow)