Sumber Foto: kompas.com/Irwan Nugraha
WARTAALENGKA, Bandung – Suara kegelisahan mulai bergema dari sekolah
swasta di Jawa Barat. Salah satunya datang dari SMA dan SMK Pasundan 2
Tasikmalaya, yang kini berada di ujung tanduk menyusul kebijakan
kontroversial Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
Sejak diberlakukannya aturan 50 siswa per kelas di sekolah negeri
mulai tahun ajaran 2025, sekolah-sekolah swasta mendadak sepi peminat. Tak
terkecuali SMA dan SMK Pasundan 2 yang tercatat hanya menerima enam
pendaftar hingga pertengahan Juli ini, jauh dari jumlah ideal untuk membuka
kelas reguler.
"Tahun ini adalah titik terendah, sangat terpuruk, dan benar-benar
berbahaya bagi keberlangsungan sekolah swasta seperti kami," ujar
Kepala Sekolah SMA dan SMK Pasundan 2 Tasikmalaya, Darus Darusman,
kepada Kompas.com, Kamis (10/7/2025).
Menurut Darus, kebijakan Gubernur yang membuka lebar kuota siswa di sekolah
negeri tanpa seleksi akademik telah membuat sekolah swasta seolah kehilangan
nafas. Bahkan,
sekolah dengan rekam jejak panjang seperti Pasundan 2 pun nyaris tak berdaya.
Sekolah Pasundan bukanlah nama sembarangan. Di era 70 hingga 90-an,
institusi pendidikan ini merupakan ikon sekolah swasta favorit di
Tasikmalaya dan Jawa Barat. Alumni-nya bahkan banyak mengisi panggung
olahraga nasional—termasuk nama-nama besar atlet voli Indonesia seperti Farhan
Halim, Cep Indra, Fikri Mustofa Kamal, hingga setter Timnas, Jasen Natanael.
"Meski kami punya jaringan besar dan alumni di berbagai daerah, tetap
saja tahun ini kami bisa kolaps. Kenapa? Karena semua calon siswa terserap ke
negeri," tambah Darus.
Kritik atas Kebijakan 50 Kursi Per Kelas
Darus tak menampik niat baik Pemprov Jawa Barat dalam
memperluas akses pendidikan. Namun ia menyesalkan pendekatan yang menurutnya
terlalu menyederhanakan masalah kompleks di sektor pendidikan.
"Gubernur tidak bisa membuat kebijakan sepihak tanpa melihat
dampaknya ke sekolah swasta," ujarnya. “Sistem pendidikan ini tidak
bisa hanya diselesaikan oleh satu kepala daerah, tapi harus melalui kajian dari
para ahli.”
Darus menyoroti ketimpangan
yang makin mencolok. Jika dulu siswa harus bersaing secara akademik untuk bisa
masuk sekolah favorit, kini jalur afirmasi dan zonasi menghapus seleksi.
Hasilnya, siswa dengan nilai biasa pun bisa masuk ke sekolah negeri favorit,
sedangkan siswa berprestasi yang tak masuk zonasi harus menyingkir.
"Siswa pintar harus
tes, tapi yang zonasi dan afirmasi langsung diterima. Sistem seperti apa ini?"
tanyanya dengan nada kecewa.
Ia pun berharap agar sistem
penerimaan siswa negeri dikembalikan ke mekanisme seleksi berbasis nilai
akademik dan prestasi. Menurutnya, pembatasan jumlah siswa maksimal 36-40
per kelas jauh lebih adil dan tidak mematikan sekolah swasta.
Dampak
Sosial: Guru Honorer Terancam Kehilangan Penghasilan
Lebih
dari sekadar angka penerimaan, Darus mengingatkan bahwa sekolah swasta adalah
tulang punggung ekonomi bagi ribuan guru honorer dan tenaga non-ASN.
"Gubernur harus
sadar, kebijakan ini bisa memutus rezeki guru-guru swasta yang menggantungkan
hidup dari pendidikan," katanya.
Sampai hari ini, SMA dan SMK
Pasundan 2 Tasikmalaya masih membuka pendaftaran hingga September, berharap
limpahan dari siswa yang gagal masuk sekolah negeri. Namun tren tahun ini
menunjukkan situasi jauh lebih buruk dibanding tahun-tahun sebelumnya.
"Tahun lalu, minimal masih ada 20 siswa per kelas dari limpahan.
Tahun ini, kita hanya bisa berharap keajaiban," ujar Darus.
Ia menutup pernyataannya dengan nada getir namun penuh harapan: "Tujuan
pemerintah adalah mencerdaskan anak bangsa. Tapi kalau caranya justru mengancam
sekolah yang sudah berdiri puluhan tahun, apakah ini keadilan? Kami juga warga
Jawa Barat, kami juga punya keluarga yang harus dibiayai."
Kebijakan Gubernur Menuai Pro dan Kontra
Sebagai informasi, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi
memberlakukan kebijakan untuk menampung hingga 50 siswa per kelas di sekolah
negeri. Di saat bersamaan, jalur afirmasi untuk siswa dari keluarga tidak
mampu (DTKS) juga diperluas, memungkinkan mereka langsung diterima tanpa tes di
sekolah favorit.
Meski dinilai inklusif, langkah ini dinilai sebagian kalangan sebagai
bentuk pengabaian terhadap peran strategis sekolah swasta dalam ekosistem
pendidikan nasional. (WA)