WARTAALENGKA, Cianjur – Ketua Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP), Fadli Zon, secara resmi menetapkan 17 Oktober sebagai Hari
Kebudayaan Nasional. Keputusan tersebut sontak menuai berbagai tanggapan, mulai
dari pujian hingga kritik tajam. Penetapan ini didasarkan pada pidato Presiden
Soekarno pada 17 Oktober 1951, di mana Bung Karno menekankan pentingnya
kebudayaan dalam membentuk revolusi Indonesia. Namun di luar argumen historis
tersebut, tak sedikit yang mempertanyakan: apakah langkah ini murni untuk
kepentingan kebudayaan nasional, atau sekadar upaya membangun positioning
politik menjelang tahun-tahun strategis?
Bagi sebagian kalangan, keputusan
Fadli Zon ini adalah langkah visioner yang terlambat namun penting. Indonesia
selama ini belum memiliki Hari Kebudayaan yang ditetapkan secara nasional,
padahal sebagai negara dengan keberagaman etnis, bahasa, dan tradisi,
kebudayaan seharusnya menjadi pilar utama pembangunan bangsa. Namun, waktu
penetapan yang berdekatan dengan momentum politik menjelang Pilpres 2029
mengundang tafsir lain. Fadli Zon sendiri adalah sosok yang dikenal vokal,
kontroversial, dan memiliki rekam jejak panjang di arena politik oposisi. Ia
pernah menjadi salah satu tokoh terdepan dalam kritik terhadap pemerintah
terdahulu, dan kini tiba-tiba tampil membawa narasi besar tentang “kebudayaan
nasional” justru ketika konstelasi politik sedang mulai menghangat.
Dalam pidatonya, Fadli menyebut bahwa
Hari Kebudayaan Nasional adalah bentuk perlawanan terhadap arus globalisasi
yang dianggap semakin mengikis nilai-nilai Pancasila. Ia menyindir bagaimana
budaya lokal semakin dikalahkan oleh algoritma media sosial dan dominasi tren
global, serta menekankan perlunya membangun benteng ideologis lewat kebudayaan.
“Budaya kita tidak boleh menjadi budak algoritma atau tren TikTok,” ucapnya
lantang. Ucapan ini dengan cepat menyebar di media sosial dan menimbulkan
reaksi beragam, dari yang memuji keberanian pernyataannya, hingga yang
menyebutnya sebagai bentuk konservatisme kultural yang menolak dinamika zaman.
Yang lebih menarik, penetapan hari
budaya ini bukan hanya soal simbolik semata. Fadli juga mengumumkan adanya
rangkaian kegiatan budaya berskala nasional yang akan dimulai tahun ini. Namun
banyak yang mencium aroma konsolidasi di balik layar. Dengan menggandeng
berbagai komunitas budaya, ormas, bahkan lembaga pendidikan, ada kekhawatiran
bahwa Hari Kebudayaan Nasional bisa bertransformasi menjadi panggung politik
berkedok budaya. “Ini bisa saja menjadi ajang pencitraan atau soft launching
agenda politik pribadi,” ujar salah satu pengamat kebudayaan yang menolak
disebut namanya. Ia juga mengkritik bagaimana Fadli Zon mendadak begitu aktif
bicara soal budaya, setelah sebelumnya lebih dikenal karena kontroversi politik
dan oposisi keras terhadap beberapa kebijakan negara.
Beberapa budayawan dan seniman
menyambut positif inisiatif ini, namun tidak sedikit pula yang bersikap
skeptis. Mereka menyayangkan apabila budaya dijadikan alat politik atau
kendaraan elektoral. Budaya, kata mereka, seharusnya tumbuh dari akar komunitas,
bukan diarahkan dari atas dengan narasi-narasi simbolik yang ujungnya adalah
pengaruh politik. Apalagi hingga saat ini belum ada payung hukum resmi atau
peraturan presiden yang mengatur secara sah posisi 17 Oktober sebagai Hari
Kebudayaan, membuat keputusan ini terkesan terburu-buru dan berpotensi menjadi
kontroversi hukum di kemudian hari.
Fadli Zon menyatakan bahwa Hari Kebudayaan Nasional bukan sekadar seremoni, melainkan momentum kebangkitan budaya Indonesia dari keterpurukan identitas. Namun sejarah politik Indonesia telah menunjukkan bahwa simbol-simbol nasional kerap kali digunakan untuk membangun narasi kepemimpinan. Di tengah situasi politik yang kian dinamis, langkah Fadli tak bisa dilepaskan dari kalkulasi pencitraan. Pertanyaannya kini bukan lagi “mengapa harus ada Hari Kebudayaan”, tapi “mengapa baru sekarang—dan kenapa harus Fadli Zon?”
Dengan semua narasi tersebut, penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional membuka babak baru dalam diskusi publik tentang posisi budaya dalam pembangunan bangsa. Namun ia juga membuka ruang kecurigaan: apakah ini bagian dari misi luhur, atau sekadar strategi halus membentuk citra baru menuju panggung kekuasaan yang lebih besar? Waktu akan menjawabnya. Yang pasti, publik kini lebih awas terhadap setiap langkah yang berbalut kebudayaan tapi beraroma politik. (WA/Ow)