WARTAALENGKA, Jakarta - Pemerintah Indonesia mengambil langkah
strategis untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dengan Amerika Serikat (AS)
sebagai respons terhadap kebijakan tarif tambahan sebesar 32 persen yang
dijatuhkan oleh Presiden AS Donald J. Trump terhadap seluruh produk asal
Indonesia. Salah satu sektor yang menjadi prioritas adalah energi.
Wakil
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, mengungkapkan bahwa pemerintah tengah
merancang peningkatan impor energi dari AS, termasuk minyak mentah dan
liquefied petroleum gas (LPG). Tujuannya adalah menciptakan kesetaraan dagang
sebagai jalan tengah menghadapi tekanan proteksionis dari Washington.
“Jadi dari sisi energi, kita juga berusaha untuk membuat trade
balance antara Indonesia dengan AS. Kita merencanakan akan meningkatkan
impor energi dari AS, karena selama ini kan kita juga mengimpor dari beberapa
negara,” kata Yuliot di Jakarta, Selasa (8/7/2025).
Upaya Diplomasi Energi di
Tengah Tekanan Tarif
Saat ini, delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menko
Perekonomian Airlangga Hartarto sedang berada di Washington DC untuk
berdiskusi langsung dengan otoritas AS. Salah satu fokus pembicaraan adalah
opsi peningkatan kuota impor sektor energi, yang diharapkan dapat menjadi
kompromi atas keputusan tarif sepihak yang diumumkan Trump melalui media
sosialnya, Truth Social.
Dalam keterangan lebih lanjut, Yuliot menyebut bahwa Indonesia
sebelumnya sudah mengimpor minyak mentah dari Singapura dan negara-negara di
kawasan Timur Tengah. Namun untuk membentuk keseimbangan dagang baru, Indonesia
membuka opsi pembelian energi dari AS dalam skala lebih besar.
“Estimasinya
sekitar 15,5 miliar dolar AS potensi belanja sektor energi dari AS. Jadi
kita sudah tawarkan untuk trade balance. Kita lihat saja nanti bagaimana
keputusan akhirnya,” tuturnya.
Sikap
Pemerintah: Tenang, Tapi Siaga
Yuliot
menegaskan bahwa Indonesia tidak akan tergesa-gesa dalam menanggapi langkah
Trump. Pemerintah disebut memilih sikap tenang, namun tetap berhati-hati.
“Ya kita
juga ini relatif harus cool juga menanggapi kondisi seperti ini,”
ujarnya.
Ketika
ditanya mengenai strategi negosiasi lanjutan, Yuliot menyebut hal tersebut
sepenuhnya berada di tangan tim negosiator yang dipimpin Airlangga di AS.
“Saya tanya
Pak Airlangga dulu ya,” tambahnya singkat.
Keseimbangan
Dagang Masih Terjaga
Meski
mendapat tekanan tarif, posisi neraca perdagangan Indonesia terhadap AS sejauh
ini masih positif. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa surplus neraca
perdagangan Indonesia dengan AS mencapai 16,84 miliar dolar AS
sepanjang tahun 2024.
Sementara
untuk periode Januari hingga Mei 2025, Indonesia masih mencatatkan
surplus sebesar 7,08 miliar dolar AS. Namun surplus ini yang kini
menjadi perhatian Washington, karena dianggap mengganggu stabilitas dagang
AS—klaim yang sudah beberapa kali menjadi alasan kebijakan tarif Trump terhadap
negara-negara berkembang. (WA)