TREN INVESTASI DI KALANGAN GEN Z: DARI SAHAM HINGGA CRYPTO

 

Sumber Foto: Ruangmenyala

WARTAALENGKA, Cianjur - Generasi Z atau Gen Z—yang umumnya mencakup mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012—menunjukkan kecenderungan baru dalam memandang dunia keuangan. Tak lagi hanya fokus pada pekerjaan tetap atau tabungan konvensional, Gen Z kini mulai aktif menjelajahi berbagai instrumen investasi. Mulai dari saham, reksa dana, hingga aset digital seperti cryptocurrency dan NFT menjadi bagian dari portofolio mereka. Fenomena ini mengundang perhatian karena terjadi dalam skala besar dan melibatkan generasi yang relatif muda, bahkan masih duduk di bangku kuliah.

Beberapa survei nasional menunjukkan bahwa Gen Z di Indonesia mulai mengenal investasi sejak usia 18–21 tahun. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pada akhir 2024, lebih dari 40% investor pasar modal di Indonesia berasal dari kelompok usia di bawah 30 tahun. Angka ini melonjak tajam dibanding lima tahun lalu yang hanya 20%. Aplikasi investasi berbasis digital yang mudah diakses lewat ponsel pintar menjadi salah satu pendorong utama tren ini. Platform seperti Bibit, Ajaib, dan Stockbit turut berkontribusi memperluas akses informasi dan memudahkan proses transaksi.

Salah satu daya tarik utama bagi Gen Z adalah kecepatan dan kemudahan dalam melakukan transaksi serta janji keuntungan yang cepat. Dalam wawancara dengan beberapa investor muda, terungkap bahwa sebagian dari mereka tertarik berinvestasi karena melihat konten media sosial yang menampilkan keuntungan besar dalam waktu singkat. TikTok dan Instagram menjadi medium utama penyebaran informasi, meskipun belum semuanya disertai edukasi finansial yang memadai.

Meskipun antusiasme tinggi, para pakar keuangan mengingatkan akan pentingnya literasi sebelum berinvestasi. Sebuah studi dari CFA Institute (2022) menunjukkan bahwa banyak investor muda cenderung overconfident dan kurang memahami risiko, terutama dalam aset-aset berisiko tinggi seperti crypto. Meski demikian, Gen Z dianggap memiliki kelebihan dalam hal keberanian mengambil risiko, adaptasi terhadap teknologi, dan semangat eksploratif dalam mencari peluang baru.

Aset kripto menjadi salah satu instrumen yang paling menarik perhatian Gen Z. Berdasarkan data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), per Januari 2025, lebih dari 35% investor aset digital berusia di bawah 30 tahun. Mereka tertarik bukan hanya karena potensi keuntungan, tetapi juga karena filosofi desentralisasi dan independensi finansial yang melekat pada teknologi blockchain.

Namun, volatilitas harga dan minimnya regulasi masih menjadi tantangan besar. Beberapa kasus penipuan investasi crypto yang sempat viral menjadi pelajaran penting bagi banyak investor muda. Pemerintah dan otoritas terkait pun gencar memberikan edukasi dan mendorong platform untuk lebih transparan dan bertanggung jawab terhadap konsumennya.

Selain saham dan crypto, instrumen investasi lain seperti reksa dana dan emas digital juga dilirik. Khususnya di kalangan mahasiswa dan fresh graduate, reksa dana dianggap sebagai pilihan yang relatif aman dan fleksibel karena bisa dimulai dari nominal kecil. Hal ini didukung oleh kampanye digital oleh manajer investasi dan influencer keuangan yang mempromosikan investasi sebagai bagian dari gaya hidup cerdas.

Faktor lain yang mendorong tren ini adalah ketidakpastian ekonomi dan rendahnya kepercayaan terhadap jaminan finansial dari pekerjaan tetap. Banyak Gen Z yang menyadari bahwa inflasi, kenaikan biaya hidup, dan tantangan mencari kerja pasca-pandemi membuat mereka harus mulai memikirkan strategi keuangan jangka panjang sejak dini. Investasi menjadi solusi untuk mempersiapkan masa depan, membeli rumah, memulai bisnis, atau bahkan mencapai kebebasan finansial.

Dari perspektif sosiologis, tren ini mencerminkan perubahan budaya yang lebih luas di kalangan anak muda. Gaya hidup minimalis, kesadaran terhadap kesehatan mental, dan dorongan untuk lebih mandiri menjadi latar belakang dari keputusan-keputusan finansial mereka. Investasi kini bukan hanya soal mencari uang, tapi juga tentang kendali atas hidup, waktu, dan masa depan.

Namun, perlu diakui bahwa tren ini belum merata. Di luar kota besar, tingkat literasi keuangan masih rendah dan akses terhadap produk investasi masih terbatas. Di sisi lain, banyak Gen Z juga masih terjebak dalam jebakan “flexing” atau pamer kekayaan di media sosial yang mendorong perilaku investasi spekulatif. Ini menjadi tantangan besar bagi lembaga pendidikan dan pemerintah untuk menyelaraskan semangat investasi dengan kedewasaan finansial.

Meningkatnya jumlah investor muda memang membawa optimisme baru bagi perekonomian Indonesia. Namun, jika tidak diimbangi dengan pemahaman risiko, tren ini justru bisa menjadi bumerang. Edukasi berkelanjutan, literasi digital, serta regulasi yang bijak akan menjadi kunci agar ledakan investasi Gen Z benar-benar berkontribusi positif, bukan hanya sesaat atau berakhir pada kerugian massal.

Melalui sinergi antara pelaku industri, pemerintah, dan komunitas, tren investasi di kalangan Gen Z dapat diarahkan menjadi gerakan positif yang memberdayakan ekonomi rakyat. Di tengah era digital dan dinamis seperti saat ini, Gen Z berpeluang menjadi generasi investor yang sadar, strategis, dan berdampak—asal dibekali dengan pengetahuan yang benar. (WA/Ow)

 


Lebih baru Lebih lama