WARTAALENGKA, Cianjur - Seorang mahasiswi Institut Teknologi
Bandung (ITB) berinisial SSS ditangkap aparat kepolisian setelah mengunggah
meme yang menggambarkan Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko
Widodo sedang berciuman. Penangkapan terjadi pada Selasa, 6 Mei 2025, di sebuah
indekos di Jatinangor, Sumedang, tempat SSS tinggal.
Informasi penangkapan ini pertama kali
mencuat ke publik lewat laporan media dan aktivis yang menyoroti soal kebebasan
berekspresi. SSS disebut telah diamankan oleh penyidik dari Direktorat Tindak
Pidana Siber Bareskrim Polri karena dianggap menyebarkan konten bermuatan
penghinaan terhadap lambang negara dan pejabat publik.
Mahasiswi itu disebut menggunakan akun
X (Twitter) untuk menyebarkan gambar yang kemudian viral dan memicu perdebatan.
Meme tersebut menggabungkan wajah Prabowo dan Jokowi dalam sebuah adegan
manipulasi visual yang dinilai tidak pantas oleh sejumlah pihak.
Setelah ditangkap, SSS dibawa ke
Jakarta untuk menjalani pemeriksaan. Namun setelah proses klarifikasi dan
penyidikan awal, kepolisian memutuskan untuk menangguhkan penahanan terhadap
dirinya dengan sejumlah pertimbangan, termasuk statusnya sebagai mahasiswa
aktif.
Institut Teknologi Bandung merespons
penangkapan ini dengan menyatakan bahwa pihak kampus telah berkoordinasi dengan
keluarga SSS dan memberikan pendampingan hukum serta psikologis. Direktur
Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, Nurlaela Arief, menyampaikan bahwa
pihak orang tua telah menemui pihak kampus dan menyatakan penyesalan.
“Orang tua yang bersangkutan datang ke
kampus, menyampaikan permintaan maaf, dan menyerahkan proses pembinaan kepada
ITB,” ujar Nurlaela dalam keterangannya.
ITB juga menegaskan bahwa mahasiswa
sebagai warga negara berhak menyampaikan pendapat, tetapi tetap harus memahami
batas etika dan hukum yang berlaku. Pihak kampus menyebutkan akan membina
mahasiswi tersebut agar lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
Nurlaela menyebut bahwa kasus ini
menjadi pelajaran penting bagi seluruh sivitas akademika ITB tentang pentingnya
bertanggung jawab dalam menyampaikan ekspresi, terutama di ruang digital yang
sangat terbuka.
“Kami berharap semua mahasiswa bisa
lebih cermat dan bijak. Kebebasan berekspresi memang dijamin, tapi tetap ada
batas yang harus dihormati,” ujarnya.
Sementara itu, organisasi mahasiswa di
Bandung menyampaikan keprihatinan atas penangkapan tersebut. Beberapa kelompok
menyuarakan pentingnya pendekatan edukatif ketimbang represif terhadap kasus
yang melibatkan ekspresi mahasiswa.
Penangkapan ini juga memicu diskusi di
kalangan masyarakat sipil mengenai batas kebebasan berekspresi dan risiko
kriminalisasi terhadap konten digital. Pakar hukum pidana menilai bahwa
penanganan seperti ini perlu dilakukan secara proporsional dan mengedepankan
mediasi sosial.
“Jika kontennya tidak dimaksudkan
untuk menyebarkan kebencian atau kekerasan, seharusnya pendekatannya bisa lebih
lunak,” ujar seorang dosen hukum dari Universitas Padjadjaran.
Mahasiswi SSS sendiri hingga saat ini
belum memberikan pernyataan resmi kepada media. Namun rekan-rekan seangkatannya
menyatakan bahwa ia tidak memiliki niat untuk menista atau menghina siapa pun,
melainkan sekadar mengunggah ulang gambar dari internet.
Berdasarkan informasi dari pihak
kampus, saat ini SSS dalam kondisi baik dan tengah menjalani proses pembinaan
internal. Ia juga telah diminta untuk tidak lagi aktif di media sosial selama
proses ini berjalan.
Publik terus menyoroti perkembangan
kasus ini, terutama karena menyangkut isu penting seperti kebebasan akademik,
digital literacy, dan peran mahasiswa dalam menyuarakan pandangan.
Kementerian Pendidikan, meski belum
memberikan pernyataan resmi, disebut tengah memantau kasus ini. Pemerhati
pendidikan berharap kasus ini bisa menjadi momentum perbaikan literasi digital
dan pemahaman etika berinternet di lingkungan kampus.
Hingga kini belum ada informasi lebih
lanjut apakah proses hukum terhadap SSS akan dihentikan sepenuhnya atau
dilanjutkan dengan mekanisme lainnya.
Kasus ini menjadi catatan penting bagi
semua kalangan, bahwa ruang digital bukanlah wilayah tanpa batas. Ekspresi
tetap perlu mempertimbangkan norma, etika, dan tanggung jawab sosial.
Di saat yang sama, penanganan terhadap mahasiswa yang melakukan kesalahan harus mengedepankan pendekatan yang membangun, bukan merusak masa depan mereka. (WA/ Ow)