MENGENANG TRAGEDI TRISAKTI: 12 MEI 1998, EMPAT MAHASISWA GUGUR DEMI REFORMASI

 

Sumber Foto: Tempo

WARTAALENGKA, Cianjur - Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak Tragedi Trisakti mengguncang Jakarta dan membuka lembar baru dalam sejarah politik Indonesia. Pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak dalam aksi demonstrasi damai menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Kejadian itu bukan hanya mengubah arah politik nasional, tetapi juga menjadi simbol keberanian generasi muda dalam memperjuangkan demokrasi dan keadilan di tengah represi kekuasaan yang sudah berlangsung selama lebih dari tiga dekade.

Aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa Universitas Trisakti saat itu merupakan bagian dari gelombang demonstrasi yang menyebar di berbagai kampus Indonesia. Krisis moneter yang melanda sejak pertengahan 1997 memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak, nilai tukar rupiah merosot tajam, dan tingkat pengangguran meningkat drastis. Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Soeharto pun membesar, terutama karena dugaan korupsi dan nepotisme yang merajalela. Dalam situasi itulah, mahasiswa Trisakti memilih turun ke jalan untuk menyuarakan tuntutan reformasi secara damai.

Pada hari itu, sekitar 6.000 mahasiswa, dosen, dan staf Universitas Trisakti berkumpul di lingkungan kampus mereka di Jakarta Barat. Aksi dimulai dengan mengibarkan bendera setengah tiang sebagai simbol duka dan kekhawatiran terhadap kondisi bangsa. Mahasiswa berencana melakukan long march menuju Gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasi secara langsung kepada wakil rakyat. Namun, langkah mereka dihalangi oleh aparat keamanan yang terdiri dari polisi dan militer yang berjaga di sekitar kawasan Grogol. Mahasiswa akhirnya memilih melakukan aksi duduk di Jalan Letjen S. Parman.

Berselang beberapa saat, pimpinan universitas dan tokoh akademisi membujuk mahasiswa untuk kembali ke dalam kampus agar tidak terjadi bentrokan fisik. Mahasiswa akhirnya mundur ke dalam area kampus, menunjukkan komitmen terhadap aksi damai tanpa kekerasan. Namun, situasi justru berubah mencekam ketika aparat keamanan melepaskan tembakan ke arah kampus sekitar pukul 17.00 WIB. Suasana menjadi kacau dan panik, mahasiswa berhamburan mencari perlindungan.

Empat mahasiswa gugur tertembak peluru tajam dalam tragedi sore itu. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Heri Hertanto, dan Hafidin Royan. Elang tertembak di dada saat berada di depan Gedung Dr. Syarif Thayeb, Hendriawan juga tertembak di lokasi yang sama. Heri dan Hafidin meninggal di plaza kampus, tertembak saat mencoba menyelamatkan diri dari rentetan peluru. Kesaksian rekan-rekan mereka menyebutkan bahwa aparat menembak secara membabi buta tanpa peringatan atau alasan yang jelas.

Kematian keempat mahasiswa ini mengguncang publik. Keesokan harinya, berita tentang tewasnya mahasiswa Trisakti menyebar ke seluruh penjuru negeri. Foto-foto jenazah para korban menghiasi halaman depan surat kabar, memperlihatkan dengan gamblang wajah-wajah muda yang gugur demi cita-cita perubahan. Gelombang protes pun makin membesar. Mahasiswa dari berbagai kampus, buruh, dan masyarakat umum turun ke jalan di berbagai kota. Demonstrasi nasional meletus, disertai kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran fasilitas umum, terutama di Jakarta dan sekitarnya.

Tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru semakin kuat. Pada 21 Mei 1998, sembilan hari setelah tragedi itu, Presiden Soeharto menyatakan pengunduran dirinya setelah 32 tahun memimpin Indonesia. Tongkat kekuasaan diserahkan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie. Namun, kelegaan atas perubahan politik itu tidak menghapus luka mendalam yang ditinggalkan oleh Tragedi Trisakti. Keadilan bagi para korban dan keluarganya hingga kini masih belum ditegakkan secara tuntas.

Empat mahasiswa yang gugur dalam tragedi itu dikenal sebagai pribadi yang bersahaja dan penuh semangat. Elang Mulia Lesmana, mahasiswa Arsitektur kelahiran 1978, dikenal kreatif dan aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Hendriawan Sie, mahasiswa Ekonomi kelahiran 1978, adalah anak pertama dari empat bersaudara yang dikenal pendiam dan tekun. Heri Hertanto, mahasiswa Teknik Informatika, adalah pribadi yang sederhana dan santun. Hafidin Royan, mahasiswa Teknik Sipil kelahiran 1976, dikenal religius dan berdedikasi tinggi.

Upaya hukum untuk mengusut Tragedi Trisakti telah dilakukan sejak awal, termasuk penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyimpulkan bahwa peristiwa itu termasuk pelanggaran HAM berat. Namun, prosesnya mandek di Kejaksaan Agung. Tak satu pun pelaku atau komandan lapangan yang bertanggung jawab atas penembakan itu dibawa ke pengadilan. Kecewa dengan lambannya proses hukum, keluarga korban dan aktivis HAM terus menyuarakan tuntutan keadilan yang hingga kini belum terpenuhi.

Setiap tahun, Universitas Trisakti menggelar peringatan 12 Mei sebagai bentuk penghormatan terhadap empat pahlawan reformasi tersebut. Di kampus itu juga didirikan Monumen Tragedi 12 Mei, tempat para mahasiswa, dosen, alumni, dan masyarakat umum bisa mengenang dan mendoakan para korban. Foto-foto dan dokumentasi tragedi juga dipajang di Museum Reformasi untuk mengingatkan generasi muda tentang harga mahal dari demokrasi yang hari ini dinikmati.

Gelar “Pahlawan Reformasi” disematkan kepada Elang, Heri, Hendriawan, dan Hafidin sebagai bentuk penghargaan atas keberanian dan pengorbanan mereka. Nama mereka diabadikan dalam berbagai kegiatan peringatan reformasi di kampus dan di ruang-ruang publik. Kisah mereka diajarkan dalam pelajaran sejarah gerakan mahasiswa dan menjadi bagian penting dalam narasi kebangsaan Indonesia pasca-Orde Baru.

Meski keadilan belum sepenuhnya ditegakkan, semangat reformasi yang mereka perjuangkan terus hidup. Mahasiswa hari ini mewarisi semangat kritis, solidaritas, dan keberanian dari generasi 1998. Tragedi Trisakti menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak datang dengan mudah, melainkan harus diperjuangkan dengan keberanian dan, dalam kasus ini, dengan nyawa.

Dua puluh tujuh tahun setelah peluru merenggut empat nyawa muda di kampus Trisakti, pertanyaan besar masih menggantung di udara: kapan keadilan akan datang? Pemerintah silih berganti, reformasi berjalan, namun penyelesaian kasus Trisakti tak kunjung tuntas. Negara ditantang untuk tidak lupa, untuk menepati janji bahwa nyawa rakyat bukanlah harga yang murah.

Saat Indonesia merayakan demokrasi dan keterbukaan, peringatan Tragedi Trisakti adalah pengingat keras bahwa kebebasan hari ini dibayar mahal oleh mereka yang gugur. Elang, Hendriawan, Heri, dan Hafidin bukan hanya nama di batu nisan. Mereka adalah suara keadilan yang tak boleh dibungkam oleh waktu. Ingatan kolektif bangsa terhadap tragedi ini harus terus dijaga agar luka sejarah tidak terulang dalam bentuk yang lain. (WA/Ow)


Lebih baru Lebih lama