MELAWAN TRUMP: POLEMIK LARANGAN MAHASISWA ASING PICU KRISIS AKADEMIK

 

Sumber Foto: Detik

WARTAALENGKA, Cianjur - Ketegangan antara dunia akademik dan kekuasaan politik memuncak setelah pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump memberlakukan larangan sementara bagi Universitas Harvard untuk menerima mahasiswa asing. Kebijakan kontroversial ini langsung memicu kecaman luas dari komunitas akademik global dan menuai gugatan hukum dari pihak Harvard.

Larangan tersebut diumumkan oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri AS pada pertengahan Mei 2025, dengan alasan keamanan nasional dan tuduhan bahwa Harvard telah gagal menindak tegas dugaan antisemitisme di lingkungan kampus.

Pemerintah menuduh Harvard sebagai institusi yang mengabaikan keselamatan mahasiswa Yahudi dan menentang nilai-nilai Amerika. Dalam pernyataan resmi, Presiden Trump menyebut universitas tersebut sebagai "sarang ekstremisme ideologis" yang perlu ditertibkan.

Sertifikasi SEVP (Student and Exchange Visitor Program) Harvard pun dicabut, yang berarti universitas ini tidak lagi memiliki wewenang untuk menerima mahasiswa internasional—baik baru maupun yang sedang menempuh studi.

Padahal, mahasiswa asing di Harvard mencakup sekitar 27% dari total populasi kampus. Keputusan ini otomatis berdampak pada ribuan mahasiswa yang tengah bersiap memasuki tahun ajaran baru.

Tindakan pemerintah ini tidak hanya memicu protes dari Harvard, tetapi juga dari berbagai perguruan tinggi top lainnya di AS, termasuk MIT, Stanford, dan Yale, yang menyatakan solidaritas terhadap Harvard.

Pihak Harvard menanggapi dengan cepat. Mereka menggugat pemerintah federal ke pengadilan, menuding larangan ini sebagai bentuk serangan politik terhadap otonomi akademik dan diskriminasi terhadap mahasiswa asing.

Dalam gugatan tersebut, Harvard menekankan bahwa kebijakan ini melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS terkait kebebasan berpendapat, serta Undang-Undang Prosedur Administratif karena dianggap diputuskan secara sepihak tanpa konsultasi publik.

Tak hanya berdampak hukum, keputusan pemerintah juga mengguncang kehidupan mahasiswa asing. Banyak yang merasa terancam status pendidikannya, bahkan beberapa mulai mempertimbangkan pindah ke negara lain seperti Kanada, Inggris, dan Australia.

Penangguhan sementara akhirnya diputuskan oleh Hakim Distrik AS Allison Burroughs pada 24 Mei 2025. Pengadilan mengabulkan permintaan Harvard untuk menghentikan pemberlakuan larangan tersebut selama proses hukum berjalan.

Putusan tersebut disambut lega oleh ribuan mahasiswa asing yang kini dapat melanjutkan proses pendaftaran. Namun, suasana kampus tetap penuh ketidakpastian hingga keputusan final keluar dari pengadilan federal.

Gedung Putih merespons keras. Juru bicara Presiden menyatakan bahwa perintah hakim adalah bentuk pelanggaran terhadap hak eksekutif pemerintah dalam menentukan kebijakan imigrasi dan keamanan nasional.

Tak hanya itu, Trump juga meminta data lengkap mahasiswa asing Harvard, termasuk asal negara dan status visa mereka, dengan dalih transparansi dan pengawasan yang lebih ketat.

Sebagai bentuk tekanan tambahan, pemerintah membekukan dana federal untuk Harvard sebesar 2,7 miliar dolar AS dan mengancam mencabut status bebas pajak institusi tersebut.

Langkah-langkah ini dipandang banyak pihak sebagai bentuk balas dendam politik dari Presiden Trump yang belakangan menunjukkan permusuhan terbuka terhadap institusi-institusi elite yang dianggap "liberal."

Dari sisi internasional, sejumlah negara menyatakan kesiapan menampung mahasiswa asing yang terdampak. Beberapa bahkan mulai menawarkan beasiswa bagi pelajar Harvard yang terpaksa hengkang dari AS.

Di dalam negeri, organisasi mahasiswa, profesor, dan alumni turut bersuara. Banyak yang menyebut larangan ini sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang membahayakan masa depan pendidikan tinggi AS.

Krisis ini bukan semata tentang Harvard. Ini juga merupakan cerminan benturan nilai antara kebebasan akademik dengan politik nasionalisme yang makin menguat dalam era Trump jilid dua.

Kasus ini kini menjadi pertarungan besar antara prinsip-prinsip demokrasi dalam pendidikan dan pendekatan otoriter dalam pengelolaan negara. Putusan pengadilan akhir akan menjadi penentu nasib ribuan pelajar asing di Amerika.

Jika Harvard kalah, bukan tak mungkin kampus-kampus lain akan mengalami nasib serupa. Dunia pendidikan pun berisiko kehilangan keragaman dan daya saing global yang selama ini menjadi keunggulan AS.

Hingga saat ini, sidang lanjutan dijadwalkan pada 27 dan 29 Mei mendatang. Para pengamat menyebut kasus ini bisa jadi preseden penting dalam sejarah hubungan antara negara dan universitas di Amerika Serikat. (WA/Ow)


Lebih baru Lebih lama