Nikah Beda Agama Digugat di MK, Ini Pokok Masalah yang Membuat Warga Rugi dan Menggugat

Sumber Foto: Humas MK
 

WARTAALENGKA, Jakarta - Aturan nikah beda agama kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi. Muhamad Anugrah Firmansyah mengajukan permohonan agar Pasal 2 ayat 1 Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tidak lagi dimaknai menutup pencatatan perkawinan antaragama. Ia menyebut norma tersebut memunculkan multitafsir dan berujung ketidakpastian hukum bagi warga yang berada pada situasi serupa dengannya.

Anugrah yang beragama Islam telah menjalin hubungan dengan perempuan beragama Kristen selama dua tahun. Ia menilai relasi yang saling menghormati keyakinan mestinya dapat dilanjutkan ke pernikahan secara sah di hadapan negara. Dalam sidang perdana di MK ia menegaskan kerugian konstitusionalnya bersifat nyata karena terhalang pasal yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Argumentasi pemohon bertumpu pada dua hal. Pertama penerapan Pasal 2 ayat 1 kerap dimaknai sebagai larangan pencatatan bagi pasangan beda agama sehingga hanya perkawinan seagama yang dapat dicatatkan. Kedua tata cara pada Undang Undang Administrasi Kependudukan yang membuka opsi penetapan pengadilan tidak berjalan konsisten. Ada pengadilan yang mengabulkan permohonan pencatatan namun tidak sedikit yang menolak. Kondisi ini membuat warga bergantung pada tafsir hakim sehingga kesetaraan di depan hukum sulit terjamin.

Anugrah juga menyoroti keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 yang pada pokoknya meminta pengadilan tidak mengabulkan pencatatan perkawinan beda agama. Menurutnya keberadaan edaran tersebut mempertegas urgensi uji materi karena menutup salah satu jalur administratif yang pernah digunakan sebagian pemohon di daerah.

Permohonan teregister dengan nomor 212 PUU XXIII 2025. Melalui perkara ini pemohon meminta MK menegaskan bahwa Pasal 2 ayat 1 tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak penetapan pencatatan perkawinan antarumat berbeda agama dan kepercayaan. Indonesia adalah masyarakat majemuk sehingga interaksi sosial yang melampaui sekat agama suku dan budaya akan terus terjadi. Dalam konteks itu kepastian hukum menjadi kebutuhan bukan sekadar wacana.

Secara substantif perkara ini menguji keseimbangan antara kebebasan beragama yang diakui konstitusi dan kepastian layanan administrasi yang menjadi kewajiban negara. Apabila MK menafsirkan norma secara lebih inklusif maka ruang administrasi kependudukan akan selaras dengan realitas sosial. Apabila MK mempertahankan tafsir yang restriktif maka peta jalan warga yang memilih nikah beda agama tetap bergantung pada konversi keyakinan atau pernikahan di luar yurisdiksi yang berisiko tidak tercatat. Putusan MK akan menjadi rujukan utama bagi Dukcapil pengadilan dan para pihak sehingga sengkarut tafsir dapat dihentikan di hulu.

“Kerugian konstitusional pemohon bersifat spesifik dan aktual. Akibat ketentuan a quo, menyebabkan pemohon tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan yang memiliki agama berbeda,” ujar Anugrah dalam persidangan (12/11/2025). Ia menambahkan penafsiran yang menutup pencatatan telah menimbulkan ketidaksamaan perlakuan dan menggantungkan nasib warga pada variasi putusan di tiap daerah.

Pada akhirnya perkara ini bukan hanya tentang satu pasangan. Uji materi Pasal 2 ayat 1 menjadi tolok ukur sejauh mana hukum keluarga di Indonesia mampu mengakomodasi kemajemukan sembari tetap menghormati norma keagamaan. Kepastian prosedur yang jelas akan mencegah praktik yang berbeda beda dan mengurangi sengketa administratif yang selama ini kerap berulang.

Lebih baru Lebih lama