![]() |
Sumber Foto: Kompas |
WARTAALENGKA,
Jakarta – Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menegaskan
bahwa kasus keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak
dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Menurutnya, insiden
yang dialami ribuan siswa tersebut lebih disebabkan oleh persoalan manajemen
dan administrasi, bukan bentuk kelalaian negara yang disengaja.
Pigai
menjelaskan, suatu kasus hanya bisa dikatakan pelanggaran HAM apabila negara
terbukti lalai atau sengaja membiarkan masyarakat menjadi korban. “Misalnya
satu sekolah yang masaknya kurang terampil, (sehingga basi) makanannya itu kan
tidak bisa dijadikan sebagai pelanggaran HAM kan,” ujarnya di kantor
Kementerian HAM, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Ia
menilai kelemahan dalam pelaksanaan MBG bersumber dari pengelolaan oleh Satuan
Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di lapangan. Hal tersebut, menurutnya, tidak
termasuk dalam ranah pelanggaran HAM. “Administrasi dan pengaturan itu tidak
bisa dipidana,” katanya. Pigai menambahkan, bentuk pertanggungjawaban dari
kesalahan prosedur adalah perbaikan sistem, bukan kriminalisasi.
Lebih
lanjut, Pigai menekankan bahwa kasus keracunan MBG hanya mencakup persentase
kecil jika dibandingkan jumlah penerima manfaat secara nasional. Dari 30 juta
penerima manfaat MBG hingga September 2025, ia mencatat insiden keracunan hanya
sebesar 0,00017 persen. “Bisa saja karena human error kan, kesalahan masak,
mungkin makanannya penyimpanannya kurang maksimal,” ucapnya. Dalam konferensi
pers tersebut, Pigai bahkan tidak menyebut istilah “keracunan”, melainkan
“penyimpangan” atau “deviasi.”
Meski
demikian, data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan angka
berbeda. Lembaga itu mencatat sedikitnya 8.000 orang mengalami keracunan akibat
konsumsi makanan MBG di berbagai daerah. Kasus terbesar terjadi di Kabupaten
Bandung Barat dengan jumlah korban mencapai 1.309 orang.
Direktur
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono, berpendapat bahwa insiden
tersebut menunjukkan kelalaian negara dalam menjamin hak masyarakat atas pangan
yang sehat dan aman. “Peristiwa keracunan akibat MBG di Bandung Barat ini bukan
yang pertama, melainkan rangkaian panjang dari ribuan kasus serupa di berbagai
daerah. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas, maka jelas ini
merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Heri dalam keterangan
tertulis, Sabtu (27/9/2025).
Menurut LBH Bandung, pemerintah seharusnya mampu melakukan mitigasi sesuai regulasi yang berlaku. Mereka merujuk pada Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang mewajibkan pemerintah menjaga standar gizi dan keamanan pangan, serta Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 yang menekankan kewajiban pemenuhan standar keamanan pangan, termasuk dalam program bantuan pemerintah. (WA/Ow)