Menag Nasaruddin: Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren Dibesarkan Media, Padahal Angkanya Sedikit

Sumber Foto: Kementerian Agama RI


 WARTAALENGKA, Cianjur – Menteri Agama, Nasaruddin Umar, menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual di pondok pesantren selama ini “dibesar-besarkan” media, padahal menurutnya jumlahnya relatif sedikit. Pernyataan ini muncul dalam forum di Kemenko PM pada Selasa (14/10), saat ia mengingatkan agar citra pesantren tidak ternoda karena beberapa kasus yang terpublikasi secara masif.

“Isu pertama belum selesai, adanya kejahatan seksual di Pondok Pesantren yang dibesar-besarkan oleh media, padahal itu hanya sedikit jumlahnya,” ujar Nasaruddin. Ia mengingatkan agar perjuangan para kyai dan santri—yang telah membangun pesantren selama ratusan tahun—tidak rusak akibat stigma negatif. “Jangan sampai orang nanti alergi memasukkan anaknya ke Pondok Pesantren … yang telah beratusan tahun membangun Pondok Pesantren itu … dikonotasikan sangat negatif,” tambahnya.

Namun data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa sepanjang 2024 tercatat 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan, termasuk sekolah dan pesantren, dan 42 persen dari total itu adalah kekerasan seksual. Data ini menunjukan bahwa meskipun jumlahnya mungkin bukan dominan dari keseluruhan lembaga pendidikan, kasus kekerasan seksual tidak bisa dianggap remeh atau diabaikan.

Dalam catatan lain, riset PPIM UIN Jakarta menyebut bahwa dari sekitar 43.000 pesantren di Indonesia, hanya 1,06 persen yang tergolong memiliki kerentanan tinggi terhadap kekerasan seksual. Temuan ini menunjukkan bahwa mayoritas pesantren masih relatif aman, namun titik-titik rawan tetap harus diwaspadai.

Akademisi juga mengamati bahwa faktor relasi kuasa antara kyai, pengasuh, dan santri menjadi elemen krusial dalam terjadinya kekerasan seksual di pesantren. Dalam studi “Menyoal Ketimpangan Relasi Kuasa pada Kekerasan Seksual di Pesantren” disebut bahwa penyalahgunaan otoritas sering menjadi pintu masuk pelanggaran terhadap santri, terutama ketika kontrol internal lemabaga tidak memadai.

Pernyataan Menag Nasaruddin pun memicu pro dan kontra. Pendukungnya menyebut sebagai upaya melindungi nama baik pesantren, sementara kritikus menilai bahwa menyangkal secara implisit bisa melemahkan korban yang berani bersuara. Dalam konteks ini, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tetap menjadi kerangka hukum utama untuk melindungi korban dan menindak pelaku.

Akhirnya, perdebatan ini menyoroti tantangan keseimbangan: menjaga reputasi lembaga keagamaan tinggi seperti pesantren, sambil memastikan bahwa setiap kasus kekerasan—seberapa pun sedikitnya—diusut tuntas dan korban mendapatkan keadilan.  (WA/Ow)

Lebih baru Lebih lama