![]() |
Sumber Foto: Hai Bunda |
WARTAALENGKA,
Jakarta – Anak usia taman kanak-kanak (TK) sedang berada pada masa
emas perkembangan kognitif, sosial, dan emosional. Namun, bagi anak
berkebutuhan khusus (ABK), fase ini sering kali penuh tantangan karena
keterbatasan fisik, kognitif, sensorik, maupun perilaku. Pendidikan inklusif
pada level TK menjadi sangat penting agar anak-anak tersebut memperoleh
kesempatan belajar yang setara dengan teman sebaya mereka, sekaligus
menumbuhkan rasa penerimaan di lingkungan sosial.
Secara
global, UNESCO (2020) menekankan bahwa pendidikan inklusif di usia dini
merupakan pondasi tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 4
tentang pendidikan berkualitas. Data di Indonesia menunjukkan sekitar 1,6
juta anak usia sekolah memiliki kebutuhan khusus, tetapi baru sebagian
kecil yang terlayani di sekolah inklusif. Hal ini menunjukkan masih adanya
kesenjangan antara kebutuhan dengan implementasi di lapangan.
Mengajar
anak TK berkebutuhan khusus membutuhkan pendekatan yang berbeda dari anak
reguler. Strategi utama adalah diferensiasi pembelajaran, yaitu
menyesuaikan metode, media, dan tempo sesuai profil masing-masing anak.
Misalnya, anak dengan hambatan intelektual dapat diberi instruksi sederhana dan
berulang, sedangkan anak dengan gangguan autisme lebih terbantu dengan visual
schedule atau gambar-gambar aktivitas.
Penting
pula menggunakan metode multisensori, di mana pembelajaran menggabungkan
indera penglihatan, pendengaran, perabaan, bahkan penciuman. Penelitian oleh Journal
of Early Childhood Special Education (2021) menunjukkan bahwa pendekatan
multisensori dapat meningkatkan keterlibatan dan pemahaman anak ABK sebesar 34%
dibandingkan metode konvensional. Contohnya, saat mengajar konsep angka, guru
tidak hanya menunjukkan simbol angka, tetapi juga mengajak anak meraba benda,
mendengarkan lagu berhitung, dan melihat gambar terkait.
Aspek
emosional juga harus mendapat perhatian. Anak berkebutuhan khusus sering kali
memiliki regulasi emosi yang berbeda, sehingga pola interaksi guru harus
penuh kesabaran dan konsistensi. Memberikan pujian kecil seperti “Bagus sekali”
atau “Hebat kamu bisa menyanyi” terbukti meningkatkan motivasi intrinsik. Studi
di International Journal of Inclusive Education (2019) menegaskan bahwa
penguatan positif lebih efektif daripada hukuman dalam meningkatkan perilaku
belajar anak autistik.
Selain
itu, pembelajaran di TK inklusif perlu memanfaatkan peer teaching atau
pembelajaran teman sebaya. Anak-anak reguler dapat diajak menjadi “teman
belajar” untuk ABK, sehingga terjadi interaksi sosial alami. Strategi ini tidak
hanya membantu perkembangan anak berkebutuhan khusus, tetapi juga menumbuhkan
empati dan toleransi pada anak reguler.
Guru
juga harus memahami bahwa durasi konsentrasi anak TK berkebutuhan khusus
biasanya lebih pendek. Oleh karena itu, pembelajaran harus dibuat dalam sesi
singkat, variatif, dan penuh permainan. Contoh konkret adalah metode
“belajar sambil bermain”, seperti mengenal warna dengan permainan puzzle,
berhitung dengan bola, atau belajar bahasa melalui lagu dan drama sederhana.
Dari
segi sarana, penggunaan alat bantu komunikasi seperti picture
exchange communication system (PECS), kartu gambar, atau aplikasi digital
terbukti efektif membantu anak tunarungu atau autisme. Penelitian di Journal
of Special Education Technology (2020) menunjukkan bahwa penggunaan media
visual interaktif meningkatkan kemampuan komunikasi anak autisme usia dini
hingga 40% dalam tiga bulan.
Kolaborasi
dengan orang tua juga merupakan kunci keberhasilan. Anak TK berkebutuhan khusus
menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, sehingga kesinambungan strategi
belajar antara sekolah dan keluarga sangat penting. Guru dapat membuat home
learning plan sederhana, berisi aktivitas yang bisa dilakukan orang tua
untuk memperkuat pembelajaran di sekolah.
Dalam
praktik di Indonesia, program sekolah inklusif di beberapa daerah sudah
menunjukkan hasil positif. Misalnya, di Yogyakarta, implementasi model “kelas
kecil inklusif” pada TK menunjukkan peningkatan signifikan pada
keterampilan sosial anak ABK setelah enam bulan. Anak yang semula pasif mulai
mampu menyapa teman, mengikuti permainan kelompok, dan berpartisipasi dalam
kegiatan bernyanyi bersama.
Namun,
tantangan tetap ada, terutama terkait kompetensi guru dan keterbatasan
fasilitas. Sebuah survei Balitbang Kemendikbud (2022) menemukan bahwa 62% guru
TK merasa belum memiliki keterampilan cukup dalam menangani ABK, sementara 45%
sekolah mengaku kekurangan media belajar khusus. Oleh karena itu, pelatihan intensif
guru dan dukungan kebijakan pemerintah sangat diperlukan.
Kesimpulannya, mengajar anak TK berkebutuhan khusus tidak dapat menggunakan pendekatan “satu metode untuk semua”. Diperlukan kombinasi diferensiasi pembelajaran, metode multisensori, penguatan positif, keterlibatan teman sebaya, media interaktif, serta kolaborasi dengan orang tua. Upaya ini tidak hanya membantu anak ABK berkembang optimal, tetapi juga menanamkan nilai inklusif sejak usia dini—yang menjadi fondasi masyarakat lebih adil dan berempati. (WA/Ow)