
Sumber Foto: diunduh dari therunningweek.com
WARTAALENGKA,
Cianjur – Perkembangan teknologi olahraga dalam dekade terakhir
ditandai dengan munculnya sepatu lari berteknologi plat karbon (carbon plate
shoes). Sepatu ini pertama kali populer ketika digunakan oleh atlet elite
marathon, dengan klaim mampu meningkatkan performa pelari secara signifikan.
Namun, inovasi ini menimbulkan perdebatan antara manfaat peningkatan prestasi
dan potensi risikonya terhadap kesehatan jangka panjang atlet.
Secara
desain, sepatu plat karbon menggunakan midsole berbahan busa dengan kerapatan
tinggi yang dipadukan dengan serat karbon tipis dan kaku di bagian sol.
Kombinasi ini menciptakan efek spring atau daya dorong ke depan,
sehingga setiap langkah menjadi lebih efisien. Penelitian dari Hoogkamer et al.
(2018) yang diterbitkan dalam Sports Medicine menunjukkan bahwa sepatu
dengan plat karbon dapat meningkatkan efisiensi lari hingga 4% dibandingkan
sepatu konvensional.
Bagi
atlet elite, peningkatan efisiensi 4% merupakan keunggulan signifikan yang
dapat membedakan peringkat podium. Hal ini terbukti ketika Eliud Kipchoge
berhasil menembus rekor marathon sub-2 jam pada 2019 dengan menggunakan sepatu
plat karbon. Sejak saat itu, hampir seluruh produsen sepatu olahraga terkemuka
berlomba mengembangkan model serupa.
Dari
sisi biomekanik, sepatu ini mengubah pola gerakan kaki. Plat karbon yang kaku
meningkatkan rocker effect, yaitu mendorong pelari lebih cepat ke fase toe-off
(ujung jari meninggalkan tanah). Efek ini mengurangi energi yang diperlukan
otot betis dan pergelangan kaki. Studi Barnes & Kilding (2019) menemukan
bahwa sepatu ini menurunkan konsumsi oksigen sebesar 2–6% pada kecepatan lari
tinggi.
Namun,
efektivitas sepatu plat karbon tidak seragam pada semua individu. Sebuah
penelitian oleh Healey & Hoogkamer (2021) menunjukkan bahwa manfaat
terbesar diperoleh pada pelari dengan teknik lari forefoot strike atau midfoot
strike. Sebaliknya, pelari dengan pola heel strike cenderung tidak
mendapatkan manfaat signifikan, bahkan bisa mengalami ketidaknyamanan.
Di
sisi lain, penggunaan jangka panjang sepatu plat karbon menimbulkan
kekhawatiran medis. Plat karbon yang kaku membatasi fleksibilitas alami kaki,
sehingga beberapa atlet melaporkan cedera stres tulang metatarsal. Studi kasus
di British Journal of Sports Medicine (2022) menemukan adanya
peningkatan kasus patah tulang stres di kalangan pelari elite setelah beralih
menggunakan sepatu ini secara intensif.
Selain
itu, perubahan distribusi beban pada kaki berpotensi meningkatkan risiko cedera
pada bagian lain, seperti lutut dan pinggul. Penelitian biomekanika dari Mickle
et al. (2021) menunjukkan bahwa meski sepatu plat karbon mengurangi beban otot
betis, beban pada sendi lutut meningkat hingga 15% dibandingkan sepatu biasa.
Dari
perspektif etika olahraga, penggunaan sepatu ini juga menimbulkan perdebatan
mengenai keadilan kompetisi. World Athletics sempat membatasi ketebalan sol
maksimal 40 mm untuk mencegah “teknologi doping”. Hal ini menunjukkan adanya
kekhawatiran bahwa performa atlet tidak lagi semata-mata ditentukan oleh
kemampuan fisiologis, tetapi juga oleh akses ke teknologi terbaru.
Kasus
nyata terjadi pada Olimpiade Tokyo 2020, di mana mayoritas pelari maraton
menggunakan sepatu plat karbon. Hasil perlombaan menunjukkan banyak catatan
waktu pribadi yang terpecahkan, menimbulkan diskusi apakah rekor tersebut lebih
disebabkan oleh inovasi sepatu atau peningkatan kemampuan atlet.
Meski
demikian, sepatu plat karbon tetap memiliki manfaat besar bila digunakan dengan
tepat. Pada pelari non-elite, sepatu ini dapat mengurangi kelelahan otot pada
jarak jauh, sehingga menurunkan risiko cedera akibat kelelahan. Namun, para
ahli menyarankan penggunaannya harus diimbangi dengan rotasi menggunakan sepatu
biasa agar kaki tetap beradaptasi dengan fleksibilitas alami.
Kesimpulannya, sepatu plat karbon merupakan inovasi signifikan dalam dunia olahraga lari yang terbukti meningkatkan efisiensi dan performa. Akan tetapi, penggunaannya tidak terlepas dari risiko biomekanik, terutama bila digunakan secara eksklusif dalam jangka panjang. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak kesehatan jangka panjang dan regulasi olahraga yang memastikan keadilan kompetisi. Dalam perspektif ilmiah, sepatu plat karbon dapat dipandang sebagai pedang bermata dua: meningkatkan performa, tetapi berpotensi menimbulkan cedera tersembunyi. (WA/Ow)