![]() |
| Sumber Foto: diunduh dari ig/chatgptricks |
WARTAALENGKA,
Tirane - Pemerintah Albania bikin gebrakan yang bikin banyak
kepala menoleh: Perdana Menteri Edi Rama menunjuk Diella, sosok menteri
virtual berbasis kecerdasan buatan (AI) yang dikembangkan bersama Microsoft.
Diella bukan manusia—ia adalah sistem AI yang sebelumnya bertugas sebagai
asisten digital di platform layanan publik e-Albania. Statusnya kini
“naik kelas”: dari sekadar virtual assistant menjadi “menteri virtual”
yang diproyeksikan fokus pada dua mandat besar negara: pemberantasan korupsi
dan transparansi birokrasi.
Di level pelayanan, Diella bukan pendatang baru. Ia sudah
akrab dengan antrean urusan warga di e-Albania: menjawab pertanyaan 24/7,
mengarahkan permohonan layanan, sekaligus menutup celah interaksi tatap muka
yang rawan pungutan liar. Dengan penugasan anyar ini, pemerintah ingin menambal
problem klasik—birokrasi yang lambat dan praktik “main belakang”—sambil memoles
kredensial tata kelola jelang ambisi masuk Uni Eropa.
Mengapa ‘menteri virtual’?
Rasional pemerintah cukup gamblang. Pertama, korupsi
yang menahun. Algoritme Diella berjanji menyisir pola transaksi, anomali
izin, dan jejak digital pengadaan—sesuatu yang sering lolos dari radar audit
manual. Kedua,
birokrasi yang bertele-tele. Otomasi proses diyakini memangkas waktu,
mengeringkan ruang abu-abu, serta menstandarkan keputusan administratif.
Ketiga, politik akuntabilitas. Albania sedang menggenjot citra sebagai
negara yang serius menyehatkan institusi—dan AI diposisikan sebagai katalis.
Puji
dan Sangsi
Gebrakan
ini menuai sanjungan: inovatif, futuristis, dan berani memindahkan “benteng”
antikorupsi ke ranah data yang dingin dan objektif. Jika Diella sukses menekan praktik rente, Albania bisa
menjadi case study global bagaimana AI memperbaiki tata kelola.
Namun kritikannya sama lantang. Kerangka hukum
jadi soal pertama: konstitusi dan undang-undang mengandaikan menteri adalah
manusia, bukan sistem komputer. Tanpa landasan yang
eksplisit, status “menteri virtual” rawan gugatan inkonstitusional. Kedua, akuntabilitas:
bila Diella salah—menolak layanan sah atau salah menandai pejabat—siapa
yang bertanggung jawab? Menteri terkait? PM? Atau vendor teknologi? Ketiga, transparansi
algoritmik. Publik berhak tahu logika pengambilan keputusan: data apa yang
dipakai, model bagaimana yang digunakan, sejauh mana bias dipilah.
Keempat, privasi & keamanan data. Dengan akses luas ke data warga,
prosedur minimisasi data, enkripsi, access control, dan incident
response bukan sekadar pelengkap—mereka garis pertahanan utama.
Apa
yang bisa (dan harus) dikerjakan Diella?
Secara fungsional, peran Diella dapat dirancang tajam
namun terkendali:
- Deteksi
dini indikasi korupsi
melalui analitik pola belanja, perizinan, dan pengadaan—dengan alerts
berbasis risiko.
- Otomasi layanan publik
end-to-end agar warga mengurus dokumen tanpa “biaya tak resmi” dan tanpa
interaksi yang tidak perlu.
- Dasbor kinerja real-time
untuk memantau efektivitas unit layanan: SLA, backlog, tingkat
keberatan, hingga waktu penyelesaian tiap kasus.
- Jejak audit & banding:
setiap keputusan AI punya explainability yang bisa ditinjau
manusia, plus mekanisme keberatan dan koreksi.
Tetapi
ada syarat non-teknis yang tak boleh dinegosiasi: human-in-the-loop
pada keputusan berdampak, standar etika AI, audit independen
berkala, serta regulasi yang eksplisit agar Diella tidak beroperasi di
ruang hukum yang kabur. Tanpa itu, keunggulan teknis mudah tergelincir jadi
kontroversi politik.
Taruhan
Politik dan Budaya Birokrasi
Menunjuk
Diella pada dasarnya adalah taruhan negara atas masa depan: apakah AI bisa
mengoreksi kelemahan manusia tanpa mengingkari prinsip pemerintahan oleh
manusia? Albania mengirim pesan: modernisasi bukan jargon. Tetapi perjalanan
ini akan menabrak budaya birokrasi yang mengakar, kepentingan politik,
dan kecemasan tenaga aparatur. Jika pemerintah mampu mengawinkan
kecepatan mesin dengan kebijaksanaan manusia—berlandas hukum yang jelas—Diella
berpeluang menjadi tonggak. Jika tidak, ia berisiko tinggal sebagai poster “digital
washing”.
Pada akhirnya, pertanyaannya sederhana namun krusial: bisakah AI menjadi instrumen yang memperdalam demokrasi dan keadilan, alih-alih menggantikannya? Albania sudah memulai eksperimen besar itu. Dunia menunggu hasilnya. (WA)
