![]() |
Sumber Foto: diunduh dari setneg.go.id |
WARTAALENGKA,
Jakarta - Pemerintah mendorong efisiensi belanja, namun di saat
bersamaan menambah struktur baru. Setelah 10 bulan pemerintahan berjalan,
Presiden Prabowo Subianto membentuk dua lembaga: Badan Industri Mineral
dan Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa/Tanggul Laut Pantura Jawa.
Keduanya dirancang menopang program serta proyek prioritas—dari pengamanan
mineral strategis untuk industri pertahanan sampai eksekusi giant sea wall
di Pantura.
Badan
Industri Mineral dipimpin Brian Yuliarto, yang juga menjabat Mendikti
Saintek. Fokusnya: tata kelola material strategis bernilai tinggi seperti logam
tanah jarang dan mineral radioaktif yang krusial bagi teknologi
modern dan kemandirian alutsista.
“Material strategis ini cukup penting untuk kedaulatan bangsa, dan juga
diharapkan bisa meningkatkan ekonomi kita,” kata Brian di kompleks Istana
Kepresidenan, Senin (25/8/2025).
Di
lini infrastruktur pesisir, Didit Herdiawan Ashaf—Wakil Menteri
KKP—ditunjuk menakhodai Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa.
Mandatnya langsung menyentuh proyek tanggul laut raksasa di pantai utara Jawa
yang telah lama menjadi bahasan.
“Tupoksi
tentunya melaksanakan kegiatan pembangunan tanggul laut di Pantura Jawa untuk
menghindari masalah-masalah yang ada kaitannya dengan ekosistem, terutama
dengan masyarakat di daerah sana,” ujar Didit usai pelantikan.
Dari Istana, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi
menekankan urgensi keduanya. “Badan Pengelolaan Pantai Utara Jawa dibentuk
karena adanya kebutuhan nyata. Sejak tahun 1990-an rencana pembangunan Giant
Sea Wall atau tanggul laut utara Jawa sudah disusun, mengingat setiap tahun
terjadi penurunan muka tanah di wilayah pesisir,” ucap Prasetyo.
Untuk Badan Industri Mineral, ia menambahkan dimensi
hilirisasi strategis:
“Yang paling mendesak adalah melindungi mineral-mineral strategis kita
supaya tidak ke mana-mana, lalu mengidentifikasi, dan berikutnya melakukan
riset agar bisa dikelola lebih bermanfaat,” pungkasnya.
Kabinet Gemuk di Era Efisiensi
Secara arsitektur pemerintahan, kabinet Prabowo dikenal
“padat” sejak pengumuman perdana 20 Oktober 2024: 50+ kementerian/lembaga,
seluruh kementerian teknis punya wakil menteri, bahkan ada yang tiga
wamen (Kemenkeu, Kemlu, Kementerian BUMN). Di periode berjalan, pemerintah
juga memisahkan sejumlah fungsi—antara lain pembentukan Badan Pengendalian
Pembangunan dan Investigasi Khusus, Badan Penyelenggara Jaminan Halal,
dan Badan Penyelenggara Haji dari Kementerian Agama.
Di sisi lain, Prabowo mendorong penghematan belanja lewat
Inpres No. 1/2025: target efisiensi Rp306,6 triliun (Rp256,1
triliun belanja pusat + Rp50,59 triliun transfer ke daerah). Kebijakan ini
berjalan paralel dengan peluncuran program prioritas Makan Bergizi Gratis
(MBG) dan pembentukan BPI Danantara.
Memasuki semester II/2025, PMK No. 56/2025 terbit
sebagai panduan teknis lanjutan efisiensi APBN. Beleid ini mengerucutkan 15
pos belanja barang & modal menjadi sasaran pengetatan: mulai alat
tulis kantor, seremonial, rapat/seminar, kajian, diklat/bimtek, honor
output/jasa profesi, percetakan/souvenir, sewa gedung/kendaraan/peralatan,
lisensi aplikasi, jasa konsultan, bantuan pemerintah, pemeliharaan, perjalanan
dinas, peralatan & mesin, hingga infrastruktur.
Kemenkeu
menjelaskan penyempitan pos bukan berarti ruang efisiensi menyempit—justru
fleksibel sesuai arahan Presiden. “Di mana dibuka ruang untuk pemenuhan
target efisiensi dari jenis belanja lain sesuai dengan arahan Presiden,”
ujar Deni Surjantoro, Kepala Biro Layanan Komunikasi & Informasi
Kemenkeu.
Wamenkeu Suahasil Nazara menegaskan efisiensi akan tetap berlanjut sebagai kultur
penganggaran. “Kalau efisiensi kan memang sudah menjadi keinginan kita
setiap lembaga. Terus mencari efisiensi dalam anggaran. Jadi lanjut terus aja,
dalam pelaksanaan, dalam perencanaan,” katanya di Istana.
Dampak ke Daerah & Catatan
Publik
Pengetatan belanja pusat–daerah memantik efek lanjutan.
Sejumlah pemerintah daerah menimbang penyesuaian pajak & retribusi
untuk menjaga fiskal lokal—yang dalam kasus tertentu menuai penolakan publik.
Di saat yang sama, publik menilai langkah menambah badan baru, meski berlabel
strategis, perlu diimbangi akuntabilitas dan timeline kinerja
yang terukur: indikator capaian, irisan kewenangan (agar tak tumpang tindih),
serta transparansi biaya operasional di tengah agenda efisiensi nasional.
Jika dua badan anyar ini mampu mempercepat kendali mineral strategis dan mengeksekusi proteksi pesisir—sekaligus menjaga disiplin anggaran—pemerintah dapat menjawab keraguan soal “gemuknya” struktur dengan hasil konkret di lapangan. (WA)