Air Minum: Teman Sehat atau Racun Tersembunyi? Menilik Peran pH dalam Kesehatan

Sumber Foto: Alat Uji

WARTAALENGKA, Cianjur – pH merupakan ukuran derajat keasaman atau kebasaan suatu larutan, dengan skala 0 hingga 14, di mana pH 7 dianggap netral. Dalam konteks air, pH menjadi salah satu indikator kualitas yang sangat penting baik untuk kebutuhan lingkungan, industri, maupun kesehatan manusia. Air minum dengan pH seimbang tidak hanya menentukan rasa, tetapi juga memengaruhi metabolisme tubuh serta stabilitas mineral di dalamnya.

Air dengan pH netral (sekitar 7) secara umum dianggap aman untuk diminum. Standar kualitas air minum dari World Health Organization (WHO) dan Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia menetapkan bahwa pH ideal untuk air minum berada pada rentang 6,5 hingga 8,5. Batas ini ditetapkan untuk mencegah efek buruk pada kesehatan maupun kerusakan sistem distribusi air akibat korosivitas.

Air dengan pH terlalu rendah (asam, <6,5) dapat bersifat korosif terhadap pipa logam, sehingga meningkatkan risiko terlarutnya logam berat seperti timbal (Pb) atau tembaga (Cu) ke dalam air minum. Kondisi ini dapat berdampak serius terhadap kesehatan, terutama menyebabkan keracunan logam berat pada anak-anak. Dari sisi fisiologis, mengonsumsi air dengan pH terlalu asam berpotensi mengiritasi saluran pencernaan dan memperberat kondisi pasien dengan penyakit lambung.

Sebaliknya, air dengan pH tinggi (basa, >8,5) meskipun jarang menimbulkan risiko langsung, dapat mengubah rasa air menjadi pahit atau licin. Konsumsi air basa dalam jumlah besar juga dikaitkan dengan gangguan elektrolit seperti alkalosis metabolik, meskipun kasus ini relatif jarang. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa air basa dapat memiliki efek positif terbatas, seperti membantu menetralkan asam lambung atau meningkatkan hidrasi pada atlet, tetapi bukti klinis masih terbatas dan sering kali diperdebatkan.

Dalam ranah ilmiah, air dengan pH tertentu juga memengaruhi bioavailabilitas mineral. Misalnya, air dengan pH sedikit basa yang mengandung kalsium dan magnesium dapat berperan sebagai sumber mineral tambahan yang mendukung kesehatan tulang dan jantung. Namun, jika pH terlalu tinggi, kelarutan mineral berkurang, sehingga menurunkan manfaat gizi dari air tersebut.

Riset terbaru di bidang kesehatan lingkungan menunjukkan bahwa anak-anak yang rutin mengonsumsi air minum dengan pH sangat rendah cenderung memiliki kadar timbal darah lebih tinggi, terutama di wilayah dengan infrastruktur perpipaan tua. Sementara itu, konsumsi air dengan pH di atas 9 yang sering dipasarkan sebagai “air alkali” masih menjadi kontroversi. Beberapa uji klinis kecil melaporkan manfaatnya untuk menurunkan viskositas darah setelah olahraga intens, tetapi sebagian besar penelitian berskala besar belum menemukan bukti konsisten bahwa air alkali lebih sehat dibandingkan air netral.

Selain faktor kesehatan, pH air juga menjadi indikator penting dalam ekosistem. Air minum yang berasal dari sumber alami seperti sungai, danau, atau mata air dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, misalnya polusi industri yang menurunkan pH akibat pelepasan asam, atau aktivitas geologi yang meningkatkan kadar mineral dan menaikkan pH. Oleh karena itu, pemantauan pH air merupakan bagian esensial dalam menjaga kualitas sumber air bersih.

Kesimpulannya, pH air bukan sekadar angka kimia, tetapi berkaitan langsung dengan kualitas, keamanan, dan dampak kesehatan konsumsi air minum. Air dengan pH 6,5–8,5 adalah yang paling ideal, dengan penyimpangan ke bawah atau ke atas berpotensi menimbulkan risiko tertentu. Meski tren “air alkali” sedang populer, bukti ilmiah belum cukup kuat untuk mendukung klaim manfaat luar biasa dibandingkan air netral. Dalam perspektif ilmiah, yang terpenting adalah memastikan air bersih, bebas kontaminan, dan memiliki pH sesuai standar kesehatan. (WA/Ow)

Lebih baru Lebih lama