![]() |
Sumber Foto: Orami |
Secara
fisiologis, hubungan seksual menimbulkan respons tubuh yang menyerupai
aktivitas fisik intensitas sedang. Penelitian yang dilakukan oleh Brody &
Costa (2009) menunjukkan bahwa selama aktivitas seksual, terjadi peningkatan
frekuensi denyut jantung hingga 110–180 kali per menit pada fase puncak,
disertai peningkatan ventilasi pernapasan dan konsumsi oksigen. Respon ini,
bila terjadi secara konsisten dalam hubungan yang sehat, dapat memberikan
stimulus kardiovaskular yang menguntungkan, meningkatkan elastisitas pembuluh
darah, dan menurunkan risiko aterosklerosis. Dalam sebuah studi kohort di American
Journal of Cardiology (Steptoe et al., 2012), pria yang melaporkan
frekuensi hubungan seksual dua kali atau lebih per minggu memiliki risiko 45%
lebih rendah mengalami penyakit jantung koroner dibanding mereka yang
berhubungan kurang dari sekali per bulan.
Hubungan
seksual juga memicu pelepasan hormon-hormon yang berperan langsung pada
kesehatan fisik. Oksitosin, yang dilepaskan dalam jumlah tinggi saat orgasme,
memiliki efek vasodilatasi yang dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik. Endorfin yang dihasilkan berfungsi sebagai analgesik alami,
menurunkan persepsi nyeri pada kondisi seperti migrain atau nyeri otot. Pada
pria, penelitian oleh Rider et al. (2004) di Journal of the American Medical
Association menemukan bahwa ejakulasi rutin (>21 kali per bulan)
berkorelasi dengan penurunan signifikan risiko kanker prostat, diduga karena
proses ejakulasi membantu mengeliminasi potensi karsinogen dari saluran
prostat. Sementara pada wanita, stimulasi seksual yang adekuat meningkatkan
aliran darah ke organ panggul, mempertahankan elastisitas jaringan, serta
membantu menjaga keseimbangan pH vagina, yang penting untuk pencegahan infeksi.
Dari
perspektif imunologi, hubungan seksual yang sehat juga berkontribusi terhadap
penguatan sistem imun. Charnetski dan Brennan (2004) melaporkan bahwa pasangan
yang berhubungan seksual 1–2 kali per minggu memiliki kadar imunoglobulin A
(IgA) 30% lebih tinggi dibanding kelompok dengan aktivitas seksual kurang dari
sekali per minggu. IgA merupakan antibodi yang berperan sebagai lini pertahanan
pertama tubuh terhadap infeksi pada mukosa saluran pernapasan dan pencernaan.
Efek ini diyakini terkait dengan penurunan kadar kortisol pasca hubungan
seksual, yang mengurangi stres kronis—diketahui sebagai faktor penekan fungsi
imun.
Kualitas
tidur juga mendapat manfaat signifikan dari hubungan seksual. Pelepasan
oksitosin dan prolaktin pasca orgasme berperan dalam meningkatkan rasa rileks
dan memicu rasa kantuk alami. Penelitian yang diterbitkan di Journal of
Sexual Medicine (Lastella et al., 2019) menunjukkan bahwa 68% responden
melaporkan kualitas tidur yang lebih baik setelah aktivitas seksual dengan
orgasme dibandingkan malam tanpa aktivitas seksual. Tidur yang berkualitas pada
gilirannya meningkatkan fungsi kognitif, metabolisme, dan regenerasi sel.
Meskipun
manfaat kesehatan fisik hubungan seksual telah terbukti, faktor kualitas
hubungan suami istri menjadi determinan penting. Hubungan seksual yang terjadi
dalam konteks komunikasi yang baik, rasa saling percaya, dan keamanan emosional
memberikan efek fisiologis yang lebih optimal dibandingkan hubungan yang
dipengaruhi stres, konflik, atau tekanan psikologis. Stres emosional selama
hubungan intim dapat memicu pelepasan adrenalin berlebihan yang justru
mengganggu respons relaksasi dan menekan efek positif dari pelepasan
hormon-hormon restoratif.
Dari
perspektif kesehatan masyarakat, temuan-temuan ini mendukung pandangan bahwa
hubungan seksual yang sehat merupakan bagian dari gaya hidup sehat, sejalan
dengan olahraga teratur, pola makan seimbang, dan manajemen stres. Tenaga medis
dapat memanfaatkan informasi ini dalam edukasi kesehatan reproduksi dan
konseling pasangan untuk mempromosikan hubungan intim yang aman, sehat, dan
saling memuaskan. Namun, penting untuk menekankan bahwa manfaat ini berlaku
optimal pada hubungan monogami yang aman secara medis, karena hubungan seksual
berisiko tinggi tanpa proteksi dapat menimbulkan dampak negatif seperti infeksi
menular seksual.
Dengan
demikian, hubungan seksual dalam pernikahan dapat dipandang sebagai intervensi
fisiologis alami yang berkontribusi pada kesehatan kardiovaskular, sistem imun,
keseimbangan hormonal, dan kualitas tidur. Pemahaman berbasis bukti ini
diharapkan dapat memperkuat kesadaran masyarakat dan pasangan suami istri
mengenai pentingnya menjaga kualitas hubungan seksual sebagai bagian integral
dari kesejahteraan fisik dan emosional. (WA/Ow)