Sumber Foto: Instagram/alisadaguise
WARTAALENGKA, Cianjur –
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menyaksikan penurunan signifikan dalam
jumlah pernikahan. Data BPS menunjukkan jumlah pernikahan tahunan turun dari
2,11 juta pada 2014 menjadi 1,48 juta pada 2024 – penurunan sekitar 30%.
Pada tahun 2023, tercatat
1,58 juta pernikahan—turun 128 ribu dibandingkan tahun sebelumnya (1,71 juta).
Penurunan ini mencerminkan perubahan sosial dan ekonomi yang mendalam.
Tren Tahunan Pernikahan
Secara proporsional, pernikahan per 100.000 penduduk dewasa juga turun dari
1.325 (2008) menjadi 818 (2022), sementara angka perceraian meningkat dari 117
menjadi 248 per 100.000 orang.
Faktor-Faktor
Penyebab
1. Kesiapan
Finansial & Karier. Biaya hidup tinggi dan sulitnya mendapat pekerjaan
mapan membuat generasi muda menunda pernikahan. Pria terutama merasa harus
terlebih dulu mapan sebelum menikah.
2.
Pendidikan Tinggi & Karier Perempuan. Angka
partisipasi pendidikan menengah dan tinggi meningkat signifikan di usia 16–23
tahun (dari 70 % ke 74 %, dan dari 25 % ke 29 %). Perempuan juga semakin mandiri secara finansial,
menyebabkan mereka tidak bergantung pada pernikahan.
3. Perubahan
Nilai dan Gaya Hidup. Generasi muda semakin selektif dalam memilih
pasangan dan melihat pernikahan bukan lagi sebagai keharusan sosial. Fenomena
“marriage is scary” makin bergaung, dipicu oleh akses mudah ke kisah perceraian
dan KDRT lewat berita dan media sosial.
4. Concerns
Kesehatan Reproduksi. Usia wanita menikah pertama meningkat dari rata-rata
20 tahun menjadi 22,3 tahun, berpotensi menunda kehamilan dan kelahiran
berkualitas jika terlalu lama menunda.
5. Tingkat
Perceraian Naik. Angka perceraian naik sekitar 9–20 %
dalam satu dekade terakhir (dari 344 ribu di 2014 ke 394 ribu di 2024),
menciptakan persepsi negatif terhadap pernikahan.
Dampak
Jangka Panjang
- Depopulasi. Penurunan pernikahan
berdampak langsung pada angka kelahiran. Bila tidak segera ditangani, Indonesia bisa
mengalami penurunan populasi dan percepatan penuaan demografis.
- Bonus
Demografi Terancam. Puncak produktif penduduk tidak diimbangi angka
pernikahan dan kelahiran yang tinggi, sehingga bonus demografi bisa hilang
dan mempercepat terbentuknya masyarakat lanjut usia.
Rekomendasi
Program
1. Edukasi
Pra-Nikah & Konseling. Kesiapan finansial, mental, dan iklim sosial
harus dibekali sejak dini untuk mengurangi ketakutan terhadap pernikahan.
2. Insentif
Ekonomi & Pekerjaan Stabil. Dukungan kebijakan ekonomi, lapangan
kerja, dan perumahan untuk generasi milenial Gen Z menjadi krusial.
3. Promosi
Nilai Keluarga Positif. Mengubah persepsi pernikahan melalui kampanye
tentang pernikahan sehat, anti-KDRT, dan manajemen konflik keluarga.
Penurunan angka pernikahan di Indonesia adalah fenomena multidimensi: kombinasi dari segi ekonomi, sosial, budaya, dan psikologis, serta meningkatnya kemapanan dan kesadaran. Meski menunda pernikahan dapat berdampak positif, bila pertangguhan ini berkepanjangan, maka di belakangnya mengintai resiko depopulasi dan melemahnya dinamika demografis. Pemerintah perlu meresponsnya dengan kebijakan terpadu yang tidak hanya mendorong, tetapi juga mendukung pernikahan dan pembentukan keluarga yang sehat dan berkelanjutan. (WA/Ow)