WARTAALENGKA, Cianjur – Fenomena fatherless atau
ketiadaan peran aktif ayah dalam kehidupan anak, baik karena perceraian,
kematian, pekerjaan, atau keterasingan emosional, telah menjadi isu sosial dan
psikologis yang semakin relevan di Indonesia. Berdasarkan data Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebanyak 20,9 persen
remaja Indonesia kehilangan sosok ayah secara fungsional. Artinya, meski
secara biologis masih memiliki ayah, mereka tidak mengalami kehadiran ayah
secara emosional, psikologis, atau sosial.
Fenomena ini bukan hanya berdampak
pada kesejahteraan emosional anak, tapi juga dapat mempengaruhi perkembangan
kognitif, moral, sosial, dan bahkan fisiologis mereka. Artikel ini membahas
berbagai aspek tersebut berdasarkan teori dan temuan ilmiah.
Teori Keterikatan (Attachment Theory)
Menurut teori attachment yang
dikembangkan oleh John Bowlby dan Mary Ainsworth, anak-anak membutuhkan figura
pengasuhan yang aman dan responsif untuk membentuk keterikatan emosional
yang sehat. Ketidakhadiran ayah dalam fase-fase perkembangan awal dapat
mengganggu pembentukan kelekatan yang aman (secure attachment), yang
pada akhirnya menyebabkan masalah kepercayaan diri, kecemasan sosial, dan
kesulitan membangun relasi jangka panjang saat dewasa.
Gangguan Emosi dan Perilaku
Berbagai studi menyebutkan bahwa
anak-anak yang dibesarkan tanpa peran aktif ayah memiliki risiko lebih tinggi
mengalami gangguan perilaku. Menurut riset American Psychological
Association (APA), anak yang fatherless 4 kali lebih mungkin mengalami
depresi dan gangguan perilaku dibandingkan anak dengan figur ayah yang aktif.
Mereka juga lebih rentan terhadap ledakan emosi, kesulitan regulasi emosi, dan
kecenderungan agresif di lingkungan sekolah.
Pengaruh terhadap Pendidikan
Ayah yang terlibat aktif secara
emosional dan kognitif terbukti memiliki korelasi positif dengan pencapaian
akademik anak. Laporan dari National Center for Fathering di AS
menunjukkan bahwa anak-anak dengan ayah yang tidak hadir cenderung memiliki
nilai akademik lebih rendah, putus sekolah lebih dini, dan motivasi belajar
yang lebih rendah. Hal ini juga terlihat pada konteks Indonesia di mana
anak-anak dari keluarga tanpa figur ayah aktif menunjukkan kesulitan
konsentrasi dan peningkatan risiko drop-out.
Risiko Kenakalan Remaja dan
Kriminalitas
Ketidakhadiran figur ayah juga
berkaitan erat dengan peningkatan risiko keterlibatan dalam kenakalan remaja.
Sebuah studi longitudinal oleh Journal of Youth and Adolescence
menyatakan bahwa remaja laki-laki yang tumbuh tanpa ayah memiliki kemungkinan
dua kali lipat lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku kriminal, penggunaan
narkoba, atau kehamilan remaja.
Di Indonesia, tren serupa mulai
terlihat. Riset dari Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak UGM menunjukkan
bahwa anak dengan kondisi fatherless lebih rentan terlibat dalam perilaku
menyimpang, seperti kekerasan di sekolah, penggunaan rokok dan alkohol, serta
radikalisasi.
Kesehatan Mental dan Identitas Diri
Kehadiran ayah memberikan kontribusi
penting dalam pembentukan identitas gender, kepercayaan diri, dan nilai moral
anak. Ketika sosok ayah hilang, anak cenderung mengalami krisis identitas dan
pengabaian terhadap struktur sosial yang mendukung perkembangan mereka.
Anak perempuan tanpa figur ayah juga
cenderung mencari pengganti afeksi melalui relasi romantik prematur, yang kerap
berujung pada relasi tidak sehat atau eksploitasi. Anak laki-laki, sebaliknya,
mengalami kekosongan figur otoritas yang dapat menyebabkan perilaku dominan
berlebihan atau inferior kompleks.
Fatherless dan Ekonomi Keluarga
Dalam konteks keluarga single mother,
beban ekonomi sering menjadi tantangan utama. Ketika ayah absen tidak hanya
secara emosional tapi juga secara finansial, anak-anak sering kali tumbuh dalam
kondisi kekurangan material. Studi dari UNICEF menyebut bahwa kemiskinan
akibat fatherless turut memperburuk akses anak terhadap pendidikan, gizi, dan
layanan kesehatan.
Intervensi dan Pencegahan
Mengatasi dampak fatherless
membutuhkan pendekatan multidimensi. Program parenting class untuk ibu
tunggal, bimbingan konseling untuk anak, serta pelibatan komunitas dan sekolah
dalam mendeteksi dini masalah anak menjadi kunci utama. Di samping itu, penting
untuk mendorong peran pengganti figur ayah, seperti kakek, paman, atau mentor.
Negara-negara maju seperti Kanada dan
Selandia Baru telah menerapkan model Fatherhood Program untuk
mengedukasi laki-laki tentang pentingnya peran ayah. Indonesia dapat belajar
dari model ini dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai budaya lokal.
Fenomena fatherless bukan hanya
masalah domestik, tetapi krisis sosial yang perlu penanganan serius dari
berbagai pihak. Sebab, dari ayah yang tak hadir, lahir potensi anak-anak yang
tumbuh tanpa arah. Keberadaan sosok ayah bukan sekadar simbol biologis,
melainkan fondasi penting dalam pembentukan anak yang sehat, kuat, dan seimbang
secara psikososial.
Peningkatan kesadaran kolektif,
dukungan kebijakan negara, dan peran aktif masyarakat adalah langkah awal
menuju generasi masa depan yang lebih utuh—dengan atau tanpa ayah kandung, tapi
tidak tanpa figur ayah yang berarti. (WA/Ow)