WARTAALENGKA, Cianjur - Pemerintah melalui Kementerian
Kebudayaan digoyang pro-kontra usai mengumumkan proyek penulisan ulang sejarah
nasional dengan pendekatan ‘tone positif’. Menteri Kebudayaan Fadli Zon
menyatakan bahwa tujuan utamanya adalah memperkuat narasi yang mempersatukan,
bukan terus-menerus memburu kesalahan masa lalu.
Proyek besar ini melibatkan 113
sejarawan profesional dari berbagai perguruan tinggi, dengan target
penyelesaian pada Agustus 2025—bertepatan dengan peringatan HUT RI ke-80.
Sepuluh jilid buku sejarah diharapkan menjadi dokumen baru yang lebih
komprehensif dan reflektif terhadap perkembangan bangsa sejak era prasejarah
hingga masa reformasi.
Fadli Zon menjelaskan bahwa “tone
positif” tidak bermaksud menutupi fakta buruk, melainkan mengekspresikan
perjalanan bangsa sebagai kesatuan penuh dinamika: baik dan buruk, naik dan
turun. Sejarawan Professor Singgih Tri Sulistiyono menegaskan nada positif
seharusnya tidak menghapus kesalahan masa lalu melainkan menyampaikan dengan
cara yang tidak memicu kebencian.
Namun, kontra segera muncul. Aliansi
Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), yang terdiri dari sejarawan dan aktivis
HAM, menilai proyek ini berpotensi digunakan sebagai alat legitimasi politik
dan berisiko mengaburkan pelanggaran HAM berat masa lalu. Mereka menyoroti
bahwa hanya dua dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang akan dimasukkan dengan
narasi positif, menimbulkan kekhawatiran akan penipuan dan pencucian narasi.
Ketua DPR Puan Maharani memberikan
peringatan keras: “JAS MERAH — jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”
Penulisan ulang harus berjalan hati-hati dan transparan agar tidak melukai
korban atau menghilangkan peristiwa sulit dari ingatan publik.
Komnas HAM juga angkat bicara. Ketua
Anis Hidayah menyesalkan ketidakjelasan apa maksud sejarah ‘tone positif’
terhadap HAM berat. Menurutnya, korban konflik tidak memerlukan narasi disertai
embel-embel damai, melainkan pengakuan yang jujur atas penderitaan mereka.
Wakil Menteri HAM Mugiyanto berusaha
menjembatani: proyek ini menulis ulang sejarah nasional secara utuh, bukan
hanya catatan pelanggaran HAM. Semua peristiwa—baik positif dan
negatif—diharapkan tetap tercantum, selama dilakukan dengan kerangka naratif yang
inklusif.
Sementara DPR, melalui Komisi X,
menuntut penjelasan lengkap. Mereka meminta Fadli Zon hadir untuk menjelaskan
batasan istilah “tone positif” dan memastikan fakta-fakta sejarah yang sensitif
tetap diakomodasi.
Akademisi seperti Adi Nugroho dari
Universitas Padjadjaran menyuarakan kebutuhan metodologi akademis ketat.
Sejarah tidak boleh sekadar disusun ulang atau dijiplak buku lama, tapi harus
menyajikan analisis baru yang valid .
Kasus mundurnya Prof. Harry Truman
Simanjuntak dari tim penulis awal menambah perhatian. Ia keberatan dengan
penggantian istilah “Prasejarah” menjadi “Sejarah Awal”, karena dianggap
mencederai keilmuan arkeologi dan memaksa istilah baru berlandaskan kekuasaan.
Publik tahun ini juga aktif
menyuarakan sikap. Di media sosial, banyak netizen menyatakan kekhawatiran
bahwa sejarah bisa disangklekkan: “Sejarah bukan untuk dipoles; sejarah untuk
dipelajari agar tidak diulang”. Kritik ini menyoroti potensi narasi digiring
agar sesuai keinginan pemerintah, bukan fakta objektif.
Di sisi lain, pendukung proyek
mengingatkan fungsi sejarah sebagai identitas kolektif. Sebagaimana dikutip
Fadli Zon dari E.H. Carr, sejarah harus relevan dan mempertegas semangat
kebangsaan agar generasi muda dapat mencintai tanah air tanpa trauma berlebihan
.
Anggaran Rp9 miliar telah disiapkan
untuk proyek ini, termasuk proses uji publik buku sejarah terbesar mulai
Juni–Juli 2025. Itu mencakup dialog terbuka dengan akademisi, media, dan publik
untuk memastikan inklusivitas konten.
Namun tantangan utama muncul dari
kontroversi seputar dua catatan pelanggaran HAM yang akan diberi narasi
positif. Pihak kritikus menilai hal ini mengurangi kredibilitas dan melemahkan
pesan moral sejarah sebagai pembelajaran dari kesalahan .
Sementara itu, pemerintah masih
berupaya menyeimbangkan dua tujuan yang tampak bertolak belakang: membangun
narasi yang menginspirasi dan menyelesaikan amanat kenegaraan atas kebenaran
sejarah. Kejelasan metodologi dan kerangka kerja yang transparan menjadi kunci.
Publik kini menanti langkah
selanjutnya. Apakah Komisi X DPR akan memasukkan revisi UU Sejarah atau
menetapkan standar kompetensi publik penulisan sejarah? Dan, akankah setiap
jilid buku sejarah yang disusun membuka dokumen terbuka bagi masyarakat?
Satu hal yang jelas: proyek ini bukan
sekadar cetak ulang buku lama. Ini berpotensi menjadi babak baru dalam
menciptakan narasi kebangsaan. Namun suksesnya tergantung pada kemampuan
pemerintah untuk merespons kritik dan menjaga obyektivitas ilmiah.
Hingga terbitnya jilid bulan Agustus,
publik Indonesia tetap di persimpangan sejarah: antara harapan merajut narasi
positif yang membangkitkan nasionalisme, dan ketakutan akan peminggiran trauma
kolektif dan penghilangan fakta penting. Pilihan narasi ini akan menentukan
bagaimana Indonesia merefleksikan masa lalunya untuk membentuk masa depan. (WA/Ow)