PEMILU NASIONAL DAN DAERAH AKAN DIPISAH MULAI 2029

 Sumber Foto: Mahkamah Konstitusi

WARTAALENGKA, Cianjur - Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa pelaksanaan Pemilihan Umum nasional dan daerah harus diselenggarakan secara terpisah mulai tahun 2029. Keputusan tersebut merupakan hasil dari putusan atas perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). MK menilai bahwa pemilu serentak lima kotak yang selama ini diterapkan tidak lagi sesuai dengan prinsip pemilu yang efektif, efisien, dan berkualitas.

Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu serentak lima kotak—yang mencakup pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota—telah menimbulkan persoalan serius dalam praktiknya. Kompleksitas teknis dan beban administratif tinggi membuat proses pemilu kurang efektif, membebani pemilih, serta menyulitkan pengawasan.

MK menegaskan bahwa pemisahan pelaksanaan pemilu merupakan bagian dari upaya menjaga kualitas demokrasi dan hak konstitusional warga negara. Dalam pandangan MK, pelaksanaan pemilu secara terpisah dapat memberi ruang bagi pemilih untuk memahami dan menilai setiap kandidat dengan lebih baik.

Putusan MK ini juga didasarkan pada pertimbangan pengalaman Pemilu 2019 yang diwarnai oleh tingginya angka kematian petugas penyelenggara pemilu karena kelelahan dan beban kerja berlebihan. MK menyebut bahwa hal ini menjadi preseden buruk dalam demokrasi yang perlu segera diperbaiki.

MK dalam amar putusannya menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu nasional (Presiden, DPR, dan DPD) serta pemilu daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan DPRD) harus dipisahkan dengan jeda waktu yang wajar. Waktu pelaksanaannya diatur paling lama dua setengah tahun dan paling cepat dua tahun antar kedua jenis pemilu tersebut.

Pemisahan pemilu ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas partisipasi pemilih, efisiensi pengelolaan anggaran, serta meningkatkan fokus isu yang diangkat dalam setiap pemilu. Selama ini, perhatian publik cenderung tersedot ke pemilihan presiden, sehingga pemilihan legislatif maupun kepala daerah kerap terabaikan secara substansial.

Mahkamah juga menginstruksikan kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah, agar menindaklanjuti putusan ini dengan merevisi Undang-Undang Pemilu dan peraturan terkait lainnya. Penyesuaian regulasi ini harus tuntas sebelum tahapan Pemilu 2029 dimulai agar tidak menimbulkan kekosongan hukum.

MK menyatakan bahwa putusan ini berlaku mulai pelaksanaan Pemilu 2029, sehingga pemisahan jadwal dan tahapan harus mulai disiapkan sejak dini oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lembaga terkait. MK juga menekankan perlunya pembuatan peta jalan (roadmap) pemilu oleh pemerintah dan KPU.

Dalam sidang pembacaan putusan, majelis hakim MK menyampaikan bahwa pemilu yang terlalu padat seperti pada 2019 menimbulkan banyak kesulitan administratif, teknis, dan logistik. Selain itu, juga berkontribusi pada tingginya beban fisik dan mental para petugas pemilu.

Beberapa ahli dan pemangku kepentingan menyambut baik putusan ini. Mereka menilai bahwa putusan MK memberi solusi konstitusional atas masalah tumpang tindih penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Sebelumnya, ada pula dorongan dari berbagai kalangan agar pilkada tidak dilaksanakan serentak dengan pilpres karena cenderung menimbulkan efek ekor jas (coattail effect) yang kuat.

Putusan ini dinilai juga memperkuat otonomi daerah karena memberi ruang kepada masyarakat lokal untuk lebih fokus pada pemilihan pemimpinnya sendiri tanpa bayang-bayang politik nasional. Di sisi lain, pengamat memperingatkan agar pelaksanaan pemilu terpisah tidak sampai membengkakkan anggaran negara secara signifikan.

Terkait hal ini, MK menegaskan bahwa efisiensi anggaran tetap bisa dicapai apabila perencanaan, tahapan, serta pengawasan dilakukan dengan profesional dan terintegrasi. Pemerintah juga diminta untuk memastikan agar logistik dan distribusi penyelenggaraan pemilu didesain sesuai dengan konteks wilayah.

Putusan MK menjadi landasan hukum yang kuat dan mengikat bagi lembaga-lembaga negara untuk menyesuaikan penyelenggaraan demokrasi di masa mendatang. Dalam hukum tata negara, putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), sehingga tidak dapat diganggu gugat.

Sejak diajukan pada awal 2024, permohonan uji materi yang diajukan Perludem ini telah menarik perhatian publik karena menyangkut masa depan sistem pemilu di Indonesia. Dalam permohonannya, Perludem menguraikan berbagai masalah yang muncul dari model pemilu serentak yang berlaku saat ini, termasuk risiko terhadap kualitas demokrasi.

Dengan dikeluarkannya putusan ini, maka Indonesia akan memasuki babak baru dalam pengelolaan pemilu. Penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat sipil perlu bersiap untuk adaptasi teknis dan substansial terhadap pemisahan pemilu nasional dan daerah.

Putusan MK juga membuka peluang lahirnya sistem kampanye yang lebih spesifik, fokus, dan tidak saling bertabrakan antara isu nasional dan lokal. Di sisi lain, pendidikan pemilih akan lebih terarah dan tidak membingungkan masyarakat seperti yang terjadi saat ini.

Perludem menyampaikan apresiasi kepada Mahkamah karena telah mendengar dan mempertimbangkan masukan dari publik. Mereka menilai bahwa keputusan ini bukan hanya soal teknis, tapi langkah penting dalam memperkuat institusi demokrasi Indonesia.

Dalam kesimpulannya, MK menyebut bahwa pemilu serentak yang terlalu masif dan kompleks justru menurunkan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, pemilu harus dilaksanakan dengan pendekatan yang menjunjung tinggi hak pemilih, efisiensi tata kelola, serta perlindungan terhadap penyelenggara dan peserta. (WA/Ow)



Lebih baru Lebih lama