HAJI FURODA KIAN DILEMA: BANYAK JEMAAH GAGAL BERANGKAT, LEGISLATOR DORONG PERLINDUNGAN HUKUM

 

Sumber Foto: Kompas

WARTAALENGKA, Cianjur - Fenomena haji Furoda kembali jadi sorotan. Puluhan jemaah kembali gagal berangkat ke Tanah Suci meski telah membayar biaya tinggi. Skema haji yang kerap disebut "jalur undangan kerajaan" ini dinilai kian problematik, baik dari sisi tata kelola maupun perlindungan jamaah.

Dikenal sebagai jalur non-kuota pemerintah Indonesia, haji Furoda sebetulnya adalah visa mujamalah atau undangan langsung dari Pemerintah Arab Saudi. Karena bukan jalur resmi melalui Kementerian Agama (Kemenag), maka pengawasan terhadap pelaksanaannya cenderung lemah. Akibatnya, banyak jemaah tertipu janji berangkat, padahal visa tak kunjung diterbitkan.

Tahun ini, sejumlah agen travel Furoda kembali menjadi sorotan. Beberapa bahkan terancam dilaporkan karena gagal memberangkatkan jemaah meski telah menerima pelunasan biaya haji. Biaya haji Furoda sendiri bisa mencapai Rp300 juta per orang, jauh lebih tinggi dari biaya haji reguler.

Laporan Kompas.com menyebutkan, ada beberapa agen yang menjanjikan pemberangkatan namun hingga waktu keberangkatan tiba, visa tak kunjung keluar. Banyak jemaah yang akhirnya terlunta-lunta di Jakarta, menunggu kepastian yang tak kunjung datang.

Menanggapi kasus ini, anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf, menegaskan bahwa pemerintah harus segera mengambil sikap. Menurutnya, perlindungan terhadap jemaah Furoda harus dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

"Ini bukan lagi soal individu yang tertipu, tapi sudah menjadi fenomena berulang yang merugikan umat. Negara tidak bisa terus membiarkan," kata Bukhori, Senin (2/6/2025).

Dalam pandangan legislator tersebut, meski jalur Furoda bukan bagian dari skema resmi, namun ketika aktivitas tersebut melibatkan warga negara Indonesia dan berkaitan dengan ibadah haji, negara tetap punya tanggung jawab moral dan hukum.

Di sisi lain, sebagian kalangan menilai kehadiran Furoda ibarat "tamu tak diundang" dalam skema haji nasional. Meski keberadaannya sah secara internasional, namun tidak memiliki posisi dalam sistem kuota dan pengawasan nasional. Hal ini menimbulkan dilema besar dalam tata kelola ibadah haji di Indonesia.

Menurut Iskandar Zulkarnain, penulis di Kompasiana, penyelenggaraan haji Furoda bagaikan "pasar bebas" tanpa pengawasan. Banyak biro travel yang berlindung di balik celah regulasi dan memanfaatkan status non-kuota untuk menawarkan paket mahal dengan iming-iming keberangkatan cepat.

Namun nyatanya, tak semua biro memiliki akses resmi atau relasi diplomatik untuk benar-benar mengamankan visa mujamalah. Akibatnya, tak sedikit jemaah yang kecewa dan menanggung kerugian besar.

Dari sisi legalitas, Kementerian Agama sendiri telah berulang kali mengingatkan masyarakat untuk lebih berhati-hati terhadap tawaran haji Furoda. Meski tidak melarang, Kemenag menyarankan masyarakat hanya berangkat melalui jalur resmi yang terdaftar dan diawasi pemerintah.

Direktur Bina Haji Kemenag, Ahmad Abdullah, menyebutkan bahwa Kemenag tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi visa mujamalah karena prosesnya langsung dari pemerintah Arab Saudi kepada pihak tertentu.

"Karena itu, kami terus mengimbau agar masyarakat memilih penyelenggara yang punya rekam jejak baik dan tidak tergiur iming-iming keberangkatan instan," kata Ahmad.

Namun imbauan saja dianggap tak cukup. Perlindungan hukum yang jelas perlu dirumuskan. Salah satu opsinya adalah memasukkan klausul pengawasan terhadap seluruh aktivitas haji, termasuk non-kuota, ke dalam UU Haji dan Umrah.

Isu ini juga menjadi perhatian publik karena menyangkut nasib masyarakat yang telah mengeluarkan uang ratusan juta rupiah untuk menjalankan rukun Islam kelima. Mereka bukan hanya kehilangan uang, tapi juga kesempatan ibadah yang telah lama dinanti.

Banyak jemaah haji Furoda yang akhirnya menuntut ganti rugi kepada penyelenggara. Sayangnya, tak semua biro travel mampu atau bersedia mengembalikan uang tersebut secara penuh.

Sebagian agen bahkan kabur atau berdalih bahwa visa mujamalah bukan wewenang mereka. Situasi inilah yang membuat posisi jemaah Furoda sangat rentan dan tidak terlindungi secara hukum.

Fenomena ini juga menjadi pengingat bahwa tata kelola ibadah haji harus lebih transparan, akuntabel, dan merata. Selama masih ada celah pasar bagi haji non-kuota tanpa pengawasan, potensi penipuan akan selalu terbuka.

Saat ini, DPR telah memulai tahap awal revisi UU Haji dan Umrah. Isu perlindungan jemaah non-kuota akan menjadi salah satu poin yang dibahas. Jika disetujui, maka ke depan akan ada payung hukum yang jelas, termasuk sanksi bagi agen yang menyalahi prosedur.

Publik pun berharap agar momentum ini tidak disia-siakan. Negara harus hadir melindungi warganya, tak peduli melalui jalur kuota atau non-kuota. Karena pada akhirnya, setiap calon haji hanya ingin satu hal: bisa beribadah dengan tenang dan layak di Tanah Suci. (WA/Ow)


Lebih baru Lebih lama