WARTAALENGKA, Cianjur - Konflik lahan yang terjadi di kawasan
Kemang, Jakarta Selatan, antara pihak Lippo Group dengan sejumlah warga yang
disebut menduduki tanah secara ilegal, kembali memantik sorotan publik. Dalam
dinamika sengketa tersebut, muncul dugaan kuat adanya praktik mafia tanah yang
memperkeruh persoalan hukum dan sosial di balik bentrokan yang sempat terjadi
di lapangan.
Peristiwa ini bermula dari bentrokan
antara sekelompok massa yang diduga sebagai preman dengan petugas keamanan di
lahan sengketa yang terletak di Jl. Kemang Timur Raya. Lahan seluas lebih dari
2.000 meter persegi tersebut diklaim Lippo Group sebagai milik sah perusahaan
sejak tahun 2014.
Dalam pernyataan resminya, pihak Lippo
melalui anak usaha mereka, PT Kemang Jaya Raya, menyebut bahwa mereka memiliki
sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang sah atas lahan tersebut. Sertifikat itu
tercatat atas nama perusahaan dan telah diperkuat oleh keputusan pengadilan.
Namun, sejak Maret 2025, lahan
tersebut dikabarkan diduduki secara sepihak oleh sekelompok orang yang disebut
oleh Lippo sebagai preman. Mereka mendirikan bangunan liar dan mengklaim bahwa
tanah itu milik warga.
Senior Executive Director Lippo Group,
Danang Kemayan Jati, menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai upaya
hukum dan administrasi sebelum akhirnya mengambil langkah pengamanan. Ia juga
menuding ada pihak-pihak tertentu yang memanipulasi hukum pertanahan untuk
memperoleh keuntungan dari konflik ini.
“Kami pemilik sah berdasarkan dokumen
hukum resmi. Ini adalah bentuk perampasan lahan yang difasilitasi oleh
oknum-oknum yang bermain di sektor pertanahan,” kata Danang dalam keterangan
tertulisnya.
Sementara itu, sebagian warga menyebut
bahwa mereka telah menempati kawasan tersebut sejak puluhan tahun lalu dan
memiliki bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB). Namun, status legal
atas hak atas tanah masih menjadi persoalan, terutama karena tidak semua warga
memiliki sertifikat hak milik.
Pengamat hukum agraria dari
Universitas Indonesia, Iwan Nurdin, menyebut bahwa konflik ini menjadi cerminan
klasik dari sengkarut pertanahan di Jakarta. “Ketika sistem administrasi tanah
tidak terintegrasi dengan baik dan ada celah dalam regulasi, mafia tanah bisa
bermain dengan leluasa,” katanya.
Iwan menilai bahwa konflik seperti ini
menunjukkan kelemahan negara dalam melakukan reforma agraria secara menyeluruh.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan sertifikat. Banyak kasus di mana sertifikat
tumpang tindih atau terbit di atas lahan yang bermasalah,” lanjutnya.
Pihak kepolisian sejauh ini masih
melakukan penyelidikan terhadap kejadian bentrokan tersebut. Beberapa saksi
telah diperiksa, termasuk dari pihak Lippo Group dan perwakilan warga yang
tinggal di sekitar lokasi. Pihak kepolisian juga belum menyebutkan adanya
tersangka terkait dugaan pelanggaran hukum dalam kasus pendudukan lahan
tersebut.
Di sisi lain, sejumlah aktivis
antikorupsi mendesak agar Kementerian ATR/BPN segera turun tangan dan melakukan
audit menyeluruh terhadap kepemilikan dan riwayat lahan tersebut. Mereka juga
meminta perlindungan hukum bagi warga yang benar-benar berhak atas tanah namun
tidak memiliki akses terhadap legalisasi dokumen.
“Ini bukan sekadar soal sengketa
biasa, ini potensi kejahatan terorganisasi di sektor agraria,” kata Koordinator
LSM Agraria untuk Rakyat, Dodi Hartawan.
Pemerintah daerah Jakarta Selatan
melalui Camat Mampang Prapatan menyatakan siap memediasi kedua belah pihak,
namun menegaskan bahwa penyelesaian harus tetap merujuk pada keputusan hukum
yang sah. “Kami tidak ingin konflik ini meluas. Semua harus duduk bersama,”
ujarnya.
Konflik lahan di Jakarta bukan hal
baru, namun ketika melibatkan korporasi besar dan dugaan mafia tanah, maka
transparansi dan supremasi hukum harus menjadi prioritas.
Pakar sosiologi perkotaan dari
Universitas Trisakti, Aisyah Ramadani, menilai bahwa konflik ini menunjukkan
masih rapuhnya struktur tata kelola kota yang adil. “Kota besar seperti Jakarta
tidak boleh dikelola dengan pola kekuasaan dan ketidakpastian hukum,” katanya.
Lippo Group sendiri menyatakan akan
tetap menjaga kondusivitas di lokasi dan menyerahkan proses selanjutnya kepada
aparat penegak hukum. Mereka juga membuka ruang dialog jika diperlukan.
Hingga saat ini, belum ada titik
terang terkait penyelesaian kasus ini. Warga yang masih bertahan di lahan
tersebut tetap bersikukuh menolak penggusuran sebelum ada keputusan hukum
final.
Kejadian ini mengingatkan publik pada
banyaknya sengketa serupa di berbagai wilayah ibu kota, mulai dari Tanah Merah
hingga Bukit Duri, yang semuanya menuntut reformasi agraria yang lebih
berkeadilan.
Kasus Kemang menambah daftar panjang
konflik yang memperlihatkan kesenjangan antara kekuatan korporasi dan posisi
lemah masyarakat kecil dalam urusan pertanahan.
DPR RI melalui Komisi II dikabarkan
akan memanggil perwakilan Kementerian ATR/BPN untuk dimintai klarifikasi soal
banyaknya konflik agraria yang belum terselesaikan.
Sementara itu, Presiden Prabowo
Subianto belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai konflik ini. Namun, dalam
beberapa kesempatan, ia menegaskan komitmennya terhadap penegakan hukum dan
perlindungan hak atas tanah rakyat.
Dengan kasus ini, masyarakat kembali dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah hukum benar-benar mampu menjadi pelindung yang adil di tengah tarik-menarik kepentingan besar?. (WA/ Ow)