DIKENAI TARIF TRUMP, PEMERINTAH RI BELUM MEMBERIKAN RESPONS

Pemerintah diharapkan menempuh jalur multilateral untuk menegosiasikan tarif yang diterapkan Trump. Selain itu, kebijakan perizinan investasi juga perlu dibuat lebih sederhana dan konsisten.

Sumber Foto: insight.kontan.co.id

WARTAALENGKA, Cianjur Meskipun produk Indonesia dikenai tarif 32 persen oleh Pemerintah Amerika Serikat, Pemerintah Indonesia belum memberikan tanggapan resmi. Para analis menilai bahwa pemerintah perlu segera mengambil langkah melalui jalur multilateral dan meningkatkan kemudahan dalam berinvestasi.

Sejumlah menteri, yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perdagangan Budi Santoso, dan Menteri Luar Negeri Sugiono, semula dijadwalkan mengadakan konferensi pers pada Kamis (3/4/3025) pukul 10.45 untuk merespons kebijakan tarif perdagangan baru dari AS terhadap mitra dagangnya. Namun, menjelang pukul 11.00, acara tersebut ditunda dengan alasan perlunya pembahasan lebih mendalam di masing-masing kementerian dan lembaga terkait.

Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, juga enggan memberikan pernyataan terkait kebijakan tarif baru yang diumumkan oleh Presiden AS, Donald Trump. Menurutnya, hanya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Menteri Luar Negeri yang berwenang menyampaikan tanggapan atas kebijakan tersebut. "Itu merupakan arahan dari Menteri Sekretaris Negara," katanya pada Kamis.

Seharusnya, Pemerintah Indonesia mengambil langkah cepat dan komprehensif mengingat produk Indonesia dikenai tarif timbal balik sebesar 32 persen. Kebijakan ini diumumkan oleh Trump dalam pernyataan yang ia sebut sebagai "Hari Pembebasan" pada Rabu (2/4/2025) malam waktu Washington atau Kamis pagi WIB. Industri alas kaki dan tekstil, yang banyak mengekspor produk ke AS, diperkirakan akan sangat terpengaruh oleh kebijakan ini.

Gabriel Lele, pakar kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan bahwa pemerintah harus mengambil langkah yang bersifat simultan untuk menghadapi tarif impor dari AS. Kebijakan yang diterapkan perlu mencakup upaya di tingkat domestik maupun internasional secara bersamaan, bukan hanya salah satu di antaranya.

Mengenai langkah eksternal, Gabriel menyarankan agar pemerintah tidak hanya mengandalkan jalur bilateral dalam diplomasi perdagangan, mengingat posisi tawar Indonesia terhadap AS tidak terlalu kuat. Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa perundingan bilateral dapat memperburuk situasi dan memperbesar risiko perang dagang.

Oleh karena itu, Gabriel lebih menyarankan pendekatan multilateral melalui berbagai organisasi seperti ASEAN, APEC, dan WTO. Sebab, dampak kebijakan ini tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, melainkan juga oleh negara lain.

"Indonesia tidak perlu menghadapi tantangan ini sendirian. Negara-negara lain seperti China dan Uni Eropa bisa diajak bekerja sama untuk membahas isu ini. Jika bertindak bersama-sama, posisi tawar Indonesia akan jauh lebih kuat," ujar Gabriel.

Selain itu, ia menekankan pentingnya kebijakan dalam negeri untuk merespons dampak dari tarif baru tersebut. Upaya mitigasi bagi eksportir dan importir harus segera dirancang, misalnya dengan membuka peluang pasar baru bagi eksportir serta mencari alternatif produk untuk menggantikan barang impor dari AS.

Isu tarif impor ini juga dianggap sebagai persoalan strategis yang membutuhkan koordinasi lintas kementerian. Tidak cukup jika hanya satu kementerian yang menangani masalah ini, terutama jika menyangkut kebijakan yang akan ditunjukkan kepada negara-negara lain.

"Harus melibatkan berbagai kementerian, minimal pada level kementerian koordinator. Langkah yang diambil pun harus cepat tetapi tetap mempertimbangkan berbagai aspek secara matang," ujar Gabriel.

Dengan demikian, lanjut Gabriel, kementerian-kementerian yang terlibat dapat lebih fokus dalam menangani dampak kebijakan ini terhadap perekonomian nasional. Hal ini juga bertujuan untuk mencegah potensi gejolak ekonomi yang dapat muncul.

Dampak terhadap Pertumbuhan Ekonomi Secara terpisah, Kepala Kelompok Penelitian Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudistira Adinegara, menyatakan bahwa kenaikan tarif impor berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Ia menjelaskan bahwa ekspor Indonesia ke AS didominasi oleh komponen elektronik, termasuk suku cadang kendaraan bermotor yang diperkirakan mengalami penurunan penjualan.

"Peluang terjadinya resesi ekonomi di AS meningkat akibat lesunya permintaan. Dalam hubungan ekonomi antara Indonesia dan AS, setiap penurunan 1 persen dalam pertumbuhan ekonomi AS dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia turun sebesar 0,08 persen," jelas Bhima.

Sektor padat karya, terutama industri alas kaki, diperkirakan akan semakin terpuruk. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan beberapa merek internasional yang beroperasi di Indonesia terhadap pasar AS.

Berdasarkan data, ekspor pakaian jadi ke AS pada 2024 menyumbang 61,4 persen dari total ekspor di sektor tersebut, sedangkan ekspor alas kaki mencapai 33,8 persen. Jika tarif yang lebih tinggi diterapkan, merek-merek internasional diperkirakan akan mengurangi jumlah pesanan ke pabrik-pabrik di Indonesia.

"Sementara itu, di pasar domestik, Indonesia kemungkinan besar akan dibanjiri produk-produk dari Vietnam, Kamboja, dan China yang mencari pasar alternatif," ujar Bhima.

Situasi ini diperparah oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang belum direvisi. Regulasi ini merupakan perubahan ketiga dari Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Akibat tidak direvisinya peraturan tersebut, ekspor menjadi semakin sulit, sementara impor memberikan tekanan lebih besar terhadap industri tekstil dan pakaian jadi di dalam negeri. Oleh karena itu, Bhima menyarankan agar regulasi ini segera diperbaiki.

Saat ini, salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah menarik peluang relokasi pabrik ke Indonesia. Namun, Bhima menilai bahwa Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan perbedaan tarif resiprokal yang lebih rendah dibandingkan Vietnam dan Kamboja.

Untuk meningkatkan daya saing investasi, pemerintah harus menciptakan regulasi yang lebih konsisten serta menyederhanakan proses perizinan. Pemerintah juga perlu menghindari penerbitan rancangan undang-undang (RUU) yang dapat menimbulkan ketidakpastian, seperti RUU Polri dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, kesiapan infrastruktur kawasan industri, sumber energi terbarukan sebagai pasokan listrik bagi industri, serta ketersediaan tenaga kerja terampil harus diperhatikan.

"Faktor-faktor ini lebih krusial karena Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan insentif fiskal berlebihan akibat penerapan global minimum tax. Jika sebelumnya Indonesia menarik investor dengan tax holiday dan tax allowances, kini saatnya untuk meningkatkan daya saing fundamental," ujar Bhima. (WA/ Ow)

 Sumber Artikel: Kompas, 03 April 2025 dengan judul Dikenai Kebijakan Tarif Trump, Pemerintah RI Belum Merespons



Lebih baru Lebih lama