WARTAALENGKA,
Cianjur – Halalbihalal merupakan tradisi unik yang berkembang di
Indonesia sebagai bentuk silaturahmi dan saling memaafkan setelah perayaan Idul
Fitri. Meskipun istilahnya berasal dari bahasa Arab, tradisi ini tidak
ditemukan di negara-negara Timur Tengah dan merupakan hasil akulturasi budaya
yang khas di Indonesia.
Terdapat
beberapa versi mengenai asal usul istilah "halalbihalal". Salah satu
versi menyebutkan bahwa pada tahun 1935–1936, seorang penjual martabak asal
India di Taman Sriwedari, Solo, mempromosikan dagangannya dengan kalimat
"Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal". Sejak saat itu,
istilah tersebut mulai populer di masyarakat Solo dan digunakan untuk menyebut
kegiatan silaturahmi saat Lebaran.
Versi
lain menyatakan bahwa tradisi halalbihalal diperkenalkan oleh KH Wahab
Chasbullah pada tahun 1948. Pada masa itu, situasi politik Indonesia sedang
tidak stabil dengan berbagai pemberontakan. Presiden Soekarno meminta saran
dari KH Wahab untuk menyatukan para elit politik. KH Wahab menyarankan
diadakannya acara silaturahmi memanfaatkan momentum Idul Fitri, yang kemudian
disebut sebagai "halalbihalal".
Selain
itu, tradisi serupa halalbihalal juga telah ada sejak masa KGPAA Mangkunegara I
(Pangeran Sambernyawa) pada abad ke-18. Setelah salat Idulfitri, Pangeran
Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dan para punggawa serta prajurit
secara bersamaan di balai istana untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan
biaya. Dalam pertemuan ini, terdapat kebiasaan untuk sungkem atau saling
memaafkan. Seluruh prajurit dan punggawa melakukan sungkem dengan tertib kepada
raja dan permaisuri. Tindakan Pangeran Sambernyawa ini kemudian ditiru oleh
organisasi Islam dengan istilah halalbihalal.
Secara
etimologis, "halalbihalal" berasal dari kata "halal" yang
berarti diperbolehkan atau bebas dari dosa. Dalam konteks tradisi ini,
halalbihalal dimaknai sebagai upaya untuk saling memaafkan dan membersihkan
diri dari kesalahan masa lalu, sehingga hubungan antarindividu kembali harmonis.
Menurut
Quraish Shihab, istilah halalbihalal memiliki tiga arti. Pertama, menyelesaikan
masalah atau meluruskan benang kusut. Kedua, mencairkan sesuatu yang beku atau
mengendapkan sesuatu yang keruh. Ketiga, melepaskan ikatan yang membelenggu.
Dari ketiga makna tersebut, dapat disimpulkan bahwa halalbihalal bertujuan
untuk mengembalikan hubungan yang sebelumnya renggang atau bermasalah menjadi
harmonis Kembali.
Tradisi
halalbihalal memiliki peran penting dalam mempererat hubungan sosial di
masyarakat. Melalui kegiatan ini, individu dapat memperkuat tali persaudaraan,
meningkatkan rasa kebersamaan, dan menjaga keharmonisan sosial. Selain itu,
halalbihalal juga menjadi sarana untuk memperkuat solidaritas sosial dalam
masyarakat Indonesia.
Dalam
konteks masyarakat yang majemuk, halalbihalal berfungsi sebagai alat
rekonsiliasi dan penguatan persatuan. Tradisi ini mengajarkan nilai-nilai
seperti empati, pengertian, dan kerendahan hati, yang menciptakan suasana
harmonis dan memperkuat hubungan sosial.
Halalbihalal tidak hanya dilakukan dalam lingkup keluarga, tetapi juga di berbagai institusi seperti instansi pemerintah, perusahaan, dan organisasi masyarakat. Acara ini biasanya diadakan dalam bentuk pertemuan formal atau informal yang melibatkan anggota komunitas untuk saling memaafkan dan mempererat silaturahmi.
Menariknya, tradisi halalbihalal juga melibatkan masyarakat lintas agama. Sebagai contoh, di Perumahan Grisimai Blok C Ponorogo, tradisi halalbihalal diikuti oleh masyarakat Muslim dan Nasrani. Hal ini menunjukkan bahwa halalbihalal memiliki dampak positif dalam memperkuat toleransi dan kerukunan antarumat beragama. (WA/ Ow)