![]() |
Sumber Foto: CNN |
WARTAALENGKA,
Cianjur – Mengetahui apakah tubuh kita sudah berada pada berat
badan ideal bukan hanya soal penampilan, tetapi juga berhubungan langsung
dengan kesehatan jantung, metabolisme, dan daya tahan tubuh. Berat badan yang
terlalu berlebih atau terlalu rendah dapat meningkatkan risiko berbagai
penyakit, seperti diabetes, hipertensi, anemia, hingga gangguan hormon. Oleh
karena itu, mengukur tinggi badan (TB) dan berat badan (BB) secara akurat serta
memahami hasilnya adalah langkah pertama menuju gaya hidup sehat.
Secara
ilmiah, indikator yang paling umum digunakan untuk menentukan berat badan ideal
adalah BMI (Body Mass Index) atau dalam bahasa Indonesia disebut Indeks Massa
Tubuh (IMT). Rumus BMI sangat sederhana, namun valid secara medis dan digunakan
secara global oleh World Health Organization (WHO). Rumusnya adalah:
BMI
= Berat Badan (kg) ÷ (Tinggi Badan dalam meter)²
Contohnya,
seseorang dengan berat badan 60 kg dan tinggi badan 1,65 meter memiliki BMI =
60 ÷ (1,65 × 1,65) = 22,0. Nilai ini termasuk dalam kategori normal atau ideal.
Namun,
hasil BMI tidak bisa berdiri sendiri. Ada beberapa faktor lain seperti usia,
jenis kelamin, massa otot, dan komposisi lemak tubuh yang juga berpengaruh.
Misalnya, atlet dengan otot padat mungkin memiliki BMI yang terlihat tinggi,
padahal tubuhnya tidak berlemak. Begitu pula dengan lansia yang massa ototnya
berkurang, meski berat badannya terlihat ideal.
Berikut
ini adalah tabel kategori BMI berdasarkan standar WHO (2023):
Kategori
Indeks Massa Tubuh (BMI) Menurut WHO
Kategori |
Rentang BMI (kg/m²) |
Keterangan Medis |
Berat
badan kurang (Underweight) |
< 18,5 |
Risiko
kekurangan gizi, anemia, sistem imun lemah |
Normal
/ Ideal |
18,5 – 24,9 |
Berat
badan sehat, risiko penyakit rendah |
Kelebihan
berat badan (Overweight) |
25,0 – 29,9 |
Risiko
diabetes dan hipertensi meningkat |
Obesitas
tingkat I |
30,0 – 34,9 |
Risiko
penyakit jantung dan metabolik tinggi |
Obesitas
tingkat II |
35,0 – 39,9 |
Risiko
komplikasi berat, termasuk sleep apnea |
Obesitas
tingkat III (Morbid) |
≥ 40,0 |
Risiko
kematian dini meningkat signifikan |
Untuk
mengukur tinggi badan (TB) secara akurat, posisi tubuh harus tegak lurus, tanpa
sepatu, tumit menempel pada dinding, dan pandangan lurus ke depan. Sementara berat
badan (BB) sebaiknya diukur menggunakan timbangan digital pada pagi hari
setelah buang air kecil dan sebelum sarapan, agar hasil lebih akurat dan
stabil.
Selain
BMI, beberapa metode lain yang sering digunakan untuk memperkirakan berat ideal
adalah rumus Broca dan Devine.
Rumus
Broca (versi umum):
o Pria:
(Tinggi Badan – 100) × 0,9
o Wanita:
(Tinggi Badan – 100) × 0,85 Contoh: Seorang wanita dengan tinggi 160 cm →
(160–100) × 0,85 = 51 kg (berat ideal).
Metode
ini memang sederhana, tetapi kurang memperhitungkan faktor seperti usia atau
massa otot. Oleh karena itu, BMI tetap dianggap metode paling ilmiah dan netral
untuk populasi umum.
Selain
menghitung BMI, penting juga memperhatikan rasio lingkar pinggang terhadap
tinggi badan (Waist-to-Height Ratio / WHtR). Riset dari Harvard T.H. Chan
School of Public Health (2021) menunjukkan bahwa lemak di area perut lebih
berbahaya dibandingkan kelebihan berat di bagian tubuh lain.
Rumusnya:
WHtR = Lingkar pinggang (cm) ÷ Tinggi badan (cm)
Hasil ideal: < 0,5 (artinya lingkar pinggang sebaiknya kurang dari setengah
tinggi badan).
Contohnya,
seseorang dengan tinggi 160 cm sebaiknya memiliki lingkar pinggang di bawah 80
cm untuk mencegah risiko diabetes tipe 2 dan penyakit jantung.
Dalam
konteks kesehatan masyarakat, mengetahui TB dan BB ideal bukan hanya untuk
estetika, tetapi untuk pencegahan dini penyakit degeneratif. WHO melaporkan
bahwa lebih dari 1 miliar orang di dunia kini mengalami kelebihan berat badan,
dan 39% di antaranya berisiko tinggi mengalami penyakit metabolik. Dengan
mengedukasi masyarakat untuk memahami ukuran ideal tubuh, langkah preventif
terhadap obesitas dapat dimulai dari rumah sendiri.
Namun,
angka ideal bukan berarti tubuh harus “sempurna”. Setiap individu memiliki komposisi
tubuh berbeda tergantung gaya hidup, aktivitas fisik, dan genetik. Maka yang
terpenting bukan sekadar mencapai angka ideal, melainkan menjaga keseimbangan
antara pola makan, aktivitas fisik, dan kesehatan mental.
Maka dari itu, Prof, edukasi sederhana seperti “menghitung BMI di rumah” bisa menjadi alat kampanye kesehatan yang efektif untuk keluarga dan masyarakat. Hanya dengan timbangan dan meteran, seseorang bisa menilai kondisi kesehatannya sendiri dan mulai melakukan perbaikan kecil untuk hidup lebih sehat. (WA/Ow)