Tren ‘Rp10.000 di Tangan Istri yang Tepat' Romantis atau Kekerasan Terselubung?

Sumber Foto: Istimewa

WARTAALENGKA, Cianjur – Fenomena viral “Rp10.000 di tangan istri yang tepat” menjadi perbincangan hangat di media sosial, terutama TikTok dan Instagram. Sekilas, narasi ini terdengar romantis dan menggugah, menampilkan sosok istri yang hemat, cerdas, dan penuh kasih dalam mengelola keuangan keluarga. Namun, di balik pesan manis itu tersimpan persoalan serius yang berkaitan dengan kesenjangan ekonomi, ketimpangan gender, dan bentuk kekerasan ekonomi yang dinormalisasi dalam masyarakat patriarkal.

Dari perspektif sosiologi, fenomena ini dapat dikaji melalui teori gender role socialization yang dikemukakan oleh Eagly & Wood (2012), di mana masyarakat membentuk ekspektasi berbeda terhadap peran laki-laki dan perempuan. Laki-laki sering diasosiasikan dengan pencari nafkah utama, sedangkan perempuan diposisikan sebagai pengatur rumah tangga. Dalam struktur ini, ketika ekonomi keluarga lemah, tanggung jawab finansial justru sering bergeser ke pundak perempuan — bukan sebagai pencari pendapatan utama, tetapi sebagai “penyelamat” yang harus menyulap kekurangan menjadi kecukupan.

Secara ekonomi, narasi “Rp10.000 di tangan istri yang tepat” mencerminkan fenomena ketahanan rumah tangga berpendapatan rendah, di mana perempuan memainkan peran strategis dalam manajemen keuangan mikro. Penelitian oleh Asian Development Bank (2021) menemukan bahwa 68% rumah tangga di Indonesia bergantung pada keterampilan perempuan dalam mengatur keuangan untuk bertahan hidup, terutama di sektor informal. Namun, kemampuan ini sering dipuji bukan sebagai bentuk pemberdayaan, melainkan sebagai bukti “istri baik” yang bisa berhemat dalam keterbatasan.

Dari sisi psikologi sosial, romantisasi terhadap perempuan hemat justru menciptakan tekanan emosional dan beban mental ganda. Perempuan dihadapkan pada dilema antara ideal sosial sebagai istri yang “setia dan sabar” dengan realitas psikologis berupa stres, rasa bersalah, dan kelelahan mental akibat tanggung jawab ekonomi yang tak proporsional. American Psychological Association (APA, 2020) mencatat bahwa ketimpangan peran dalam pengelolaan ekonomi rumah tangga menjadi salah satu faktor utama pemicu stres dan konflik perkawinan.

Fenomena ini juga dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan ekonomi terselubung (financial abuse). Menurut UN Women (2022), kekerasan ekonomi adalah bentuk kontrol terhadap sumber daya finansial yang membuat satu pihak (biasanya perempuan) bergantung secara ekonomi pada pasangan, sehingga kehilangan otonomi dan daya tawar dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, narasi “istri yang baik bisa mengatur uang berapa pun” justru memperkuat legitimasi atas minimnya tanggung jawab finansial dari pihak suami.

Lebih jauh, tren ini memperlihatkan bagaimana media sosial berperan dalam memperkuat konstruksi budaya patriarkal. Melalui meme, video pendek, dan narasi romantik, muncul glorifikasi terhadap penderitaan perempuan. Konsep seperti “istri hebat itu yang bisa diajak susah” dipopulerkan, padahal secara struktural justru memperpanjang ketimpangan dan mengaburkan urgensi keadilan ekonomi dalam rumah tangga. Ini sejalan dengan konsep symbolic violence yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, yakni bentuk dominasi halus yang diterima tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan.

Dalam banyak kasus, perempuan menjadi pihak yang harus “berkreasi” agar rumah tangga tetap berjalan, seperti menjual makanan kecil, menjadi reseller, atau mencari penghasilan tambahan, sementara suami tidak mengalami tekanan sosial serupa. Komnas Perempuan (2023) mencatat bahwa 31% kasus kekerasan domestik di Indonesia memiliki unsur kekerasan ekonomi — mulai dari penelantaran finansial hingga pembatasan akses terhadap uang.

Dari sisi komunikasi dan budaya, tren seperti ini juga memperlihatkan bagaimana narasi digital dapat membentuk opini publik. Social media discourse analysis yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (2024) menemukan bahwa 73% konten viral bertema “istri hebat hemat” memiliki nada romantisasi, bukan edukasi. Hal ini menandakan bahwa media sosial tidak hanya merefleksikan budaya patriarkal, tetapi juga memperkuatnya melalui humor, konten “relate”, dan framing emosional.

Dampaknya tidak kecil. Banyak perempuan mulai menormalisasi kesulitan ekonomi dan menjadikannya sebagai bentuk cinta atau pengabdian. Padahal, menurut perspektif psychological empowerment theory (Zimmerman, 1995), kesejahteraan emosional dan finansial seseorang sangat bergantung pada rasa kontrol terhadap hidupnya sendiri. Ketika perempuan kehilangan akses dan otonomi finansial, maka hilang pula sebagian kendali terhadap kesejahteraannya.

Namun, bukan berarti narasi ini sepenuhnya negatif. Di satu sisi, ia menunjukkan kekuatan perempuan dalam bertahan dan beradaptasi. Akan tetapi, kekuatan ini tidak boleh dijadikan pembenaran atas ketimpangan struktural. Sebagaimana diungkapkan oleh bell hooks (2000) dalam teorinya tentang feminist love ethics, cinta sejati dalam relasi bukanlah pengorbanan sepihak, melainkan kolaborasi yang adil dan saling menghargai peran.

Secara sosial, langkah korektif perlu dilakukan melalui dua arah: pendidikan ekonomi rumah tangga dan rekonstruksi budaya populer. Literasi finansial pasangan suami istri perlu diperkuat agar perencanaan keuangan tidak menjadi beban satu pihak. Selain itu, media massa dan kreator konten juga memiliki tanggung jawab moral untuk tidak menormalisasi narasi romantisasi kemiskinan yang mengorbankan perempuan.

Kesimpulannya, tren “Rp10.000 di tangan istri yang tepat” bukan sekadar konten viral, melainkan cermin dari realitas sosial yang kompleks. Ia menggambarkan ketimpangan peran ekonomi dalam rumah tangga dan sekaligus menyoroti betapa mudahnya kekerasan ekonomi disamarkan di balik romantisme. Di era digital, kesadaran kritis terhadap pesan semacam ini menjadi penting — bukan hanya untuk membela perempuan, tapi untuk membangun relasi yang sehat, setara, dan manusiawi di tengah tekanan sosial dan ekonomi yang kian nyata. (WA/Ow)

Lebih baru Lebih lama