PENTINGNYA MENJAGA KOMUNIKASI DALAM HUBUNGAN PERNIKAHAN: TINJAUAN PSIKOLOGIS, SOSIOLOGIS, DAN KLINIS

Sumber Foto: Farah.Id

WARTAALENGKA, Cianjur – Komunikasi merupakan fondasi utama dalam membangun dan mempertahankan hubungan pernikahan. Melalui komunikasi, pasangan dapat mengekspresikan perasaan, kebutuhan, harapan, dan pandangan hidup yang dimiliki masing-masing. Dalam konteks pernikahan, komunikasi bukan sekadar pertukaran informasi, tetapi juga sarana untuk memperkuat keintiman emosional dan menjaga kohesi hubungan. Kualitas komunikasi menjadi indikator penting yang menentukan tingkat kepuasan, kestabilan emosional, dan daya tahan hubungan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.

Penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif berkorelasi positif dengan kebahagiaan pernikahan. Gottman dan Levenson (2011) menemukan bahwa pasangan yang mampu berkomunikasi secara terbuka, empatik, dan jujur memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang lebih tinggi dibandingkan pasangan yang sering mengalami miskomunikasi. Keterampilan seperti mendengarkan aktif, merespons dengan empati, dan menghindari perilaku defensif terbukti meningkatkan kualitas hubungan. Sebaliknya, pola komunikasi yang diwarnai kritik tajam, sindiran, atau pengabaian dapat menurunkan rasa percaya dan menimbulkan jarak emosional.

Kurangnya komunikasi yang sehat sering kali memicu konflik yang tidak perlu. Ketidakjelasan pesan, asumsi yang keliru, dan kegagalan memahami perspektif pasangan dapat menciptakan kesalahpahaman yang berulang. Studi dalam Journal of Marriage and Family (2018) mengidentifikasi miskomunikasi sebagai salah satu faktor utama penyebab perceraian, sejajar dengan masalah keuangan dan ketidaksetiaan. Bahkan, masalah kecil yang tidak segera diklarifikasi dapat berkembang menjadi pertengkaran besar jika dibiarkan tanpa pembicaraan terbuka.

Dari perspektif psikologis, kemampuan berkomunikasi yang sehat sering kali dipengaruhi oleh latar belakang individu, termasuk pola asuh masa kecil, pengalaman trauma, dan kondisi kesehatan mental. Pasangan yang memiliki riwayat interaksi keluarga yang terbuka cenderung lebih mudah mengungkapkan perasaan secara konstruktif. Sementara itu, mereka yang terbiasa dengan lingkungan komunikasi tertutup atau penuh kritik mungkin memerlukan pelatihan khusus untuk membangun kebiasaan komunikasi yang lebih positif. Terapi pasangan seperti Emotionally Focused Therapy (EFT) telah terbukti membantu memperbaiki pola interaksi negatif dengan menekankan pentingnya empati dan kepekaan emosional dalam berkomunikasi.

Dari sudut pandang sosiologis, gaya komunikasi dalam pernikahan juga dipengaruhi oleh norma budaya, peran gender, dan ekspektasi sosial. Di masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme seperti Indonesia, komunikasi pasangan sering melibatkan pertimbangan terhadap harmoni keluarga besar. Hal ini dapat menjadi kekuatan, tetapi juga tantangan ketika pasangan perlu membicarakan masalah yang bersifat pribadi tanpa campur tangan pihak luar. Kesadaran akan faktor budaya ini menjadi penting dalam merancang strategi komunikasi yang sesuai dengan konteks sosial masing-masing pasangan.

Selain peran dasarnya dalam menjaga keharmonisan, komunikasi juga berfungsi sebagai strategi pencegahan konflik. Pasangan yang secara rutin berdiskusi mengenai perencanaan keuangan, pembagian peran rumah tangga, dan rencana masa depan cenderung memiliki hubungan yang lebih stabil. Teknik seperti penggunaan I-message (“Saya merasa… ketika…”) terbukti efektif dalam mengurangi sikap defensif dan mempermudah penyelesaian masalah. Pendekatan ini menekankan penyampaian perasaan tanpa menyerang karakter pasangan, sehingga pesan dapat diterima lebih baik.

Dalam menghadapi krisis, seperti kehilangan pekerjaan, penyakit kronis, atau kematian anggota keluarga, komunikasi menjadi mekanisme penting untuk menjaga ketahanan hubungan. Pasangan yang saling berbagi perasaan, mendengarkan satu sama lain, dan mencari solusi bersama terbukti lebih mampu melewati masa sulit dengan solidaritas yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi tidak hanya relevan pada situasi normal, tetapi juga menjadi penentu utama keberhasilan hubungan dalam menghadapi tekanan eksternal.

Era digital membawa bentuk komunikasi baru seperti pesan instan, panggilan video, dan media sosial. Meski memudahkan interaksi jarak jauh, komunikasi digital memiliki keterbatasan dalam menyampaikan nuansa emosional nonverbal seperti ekspresi wajah dan intonasi suara. Oleh karena itu, tetap diperlukan komunikasi tatap muka untuk memperkuat hubungan emosional. Kombinasi komunikasi digital dan langsung dapat memberikan fleksibilitas, tetapi tetap harus diimbangi dengan kehadiran fisik yang nyata agar keintiman terjaga.

Konselor pernikahan dan terapis pasangan menekankan bahwa pelatihan komunikasi merupakan salah satu komponen terpenting dalam konseling hubungan. Program seperti Prevention and Relationship Enhancement Program (PREP) menunjukkan hasil signifikan dalam mengurangi risiko perceraian hingga 30 persen dengan mengajarkan keterampilan komunikasi asertif, empatik, dan konstruktif. Hal ini membuktikan bahwa komunikasi bukanlah kemampuan bawaan, melainkan keterampilan yang dapat dipelajari dan dikembangkan.

Kesimpulannya, menjaga komunikasi dalam pernikahan bukan sekadar upaya rutin berbicara satu sama lain, tetapi sebuah proses berkelanjutan untuk memahami, menghargai, dan mendukung pasangan dalam berbagai situasi. Komunikasi yang efektif tidak hanya membantu menyelesaikan masalah, tetapi juga memperkuat keintiman, meningkatkan rasa percaya, dan menciptakan rasa aman emosional bagi kedua belah pihak. Dalam jangka panjang, kualitas komunikasi menjadi penentu utama keberlangsungan dan kebahagiaan pernikahan, menjadikannya investasi emosional yang sangat berharga bagi setiap pasangan. (WA/Ow)

Lebih baru Lebih lama