WARTAALENGKA, Cianjur - Pernahkah Anda merasa lelah bekerja
terlalu keras tanpa imbalan yang setimpal? Atau merasa hidup Anda dikendalikan
oleh notifikasi kantor, bahkan di luar jam kerja? Di tengah tekanan dunia kerja
modern, muncul sebuah istilah yang kini makin populer: quiet quitting.
Meski terdengar seperti “pengunduran
diri diam-diam”, quiet quitting bukan berarti seseorang berhenti bekerja.
Sebaliknya, mereka tetap menjalankan tugas sesuai kontrak kerja, namun tidak
lagi memberikan tenaga dan waktu lebih dari yang dibutuhkan. Tidak ada lagi
lembur tanpa bayaran, tidak ada ambisi yang membebani, dan tidak ada upaya
ekstra untuk promosi jika harus mengorbankan kesehatan mental dan kehidupan
pribadi.
Fenomena ini pertama kali meledak di
Amerika Serikat sekitar tahun 2022 melalui media sosial TikTok. Namun, tren
tersebut kini telah menjalar ke berbagai negara lain, termasuk Jepang, Korea
Selatan, dan Indonesia—khususnya di kalangan generasi muda.
Survei Mynavi di Jepang mengungkap
bahwa sekitar 45% responden menyatakan hanya ingin menyelesaikan pekerjaan
sebatas kewajiban minimum. Mereka lebih memilih menyeimbangkan kehidupan
pribadi dengan pekerjaan, daripada berlarut-larut dalam ekspektasi dunia
korporasi yang menuntut kesetiaan tanpa henti.
Mengapa quiet quitting terjadi?
Penyebabnya sangat beragam, tetapi sebagian besar berakar pada kelelahan
emosional dan ketidakpuasan kerja. Beberapa alasan umum meliputi:
- Beban
kerja yang tak realistis
- Minimnya
penghargaan terhadap kontribusi karyawan
- Gaji
stagnan tanpa prospek kenaikan
- Keseimbangan
hidup-kerja yang terganggu
- Ketidakpastian
masa depan kerja
Fenomena ini juga berkaitan erat
dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Laporan dari American
Psychological Association tahun 2023 menunjukkan bahwa 59% karyawan muda
merasa stres kronis akibat pekerjaan, dan banyak dari mereka memilih membatasi
keterlibatan emosional sebagai bentuk perlindungan diri.
Profesor Izumi Tsuji, sosiolog dari
Universitas Tokyo, menyebut bahwa quiet quitting bukan bentuk kemalasan.
Justru, ini adalah bentuk rasionalitas baru yang lahir dari generasi yang
menyadari bahwa pengorbanan besar tidak selalu berbuah hasil. Mereka tetap
profesional, tetap produktif, namun menarik garis tegas antara hidup pribadi
dan pekerjaan.
Di Indonesia, tren ini mulai terlihat
dari meningkatnya konten media sosial yang mengkritik budaya hustle. Banyak
anak muda kini memprioritaskan self-care, side hustle yang sesuai
passion, dan waktu bersama keluarga. Mereka tidak lagi melihat karier sebagai
satu-satunya identitas diri.
Namun, quiet quitting juga menimbulkan
tantangan baru. Dari sisi perusahaan, fenomena ini bisa mengurangi engagement
dan inovasi tim. Oleh karena itu, banyak HR dan pimpinan perusahaan kini
didorong untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif, sehat secara
mental, dan menghargai keseimbangan hidup.
Apakah quiet quitting akan menjadi
norma baru dalam dunia kerja? Mungkin saja. Selama perusahaan belum bisa
menciptakan sistem kerja yang adil dan manusiawi, maka pilihan untuk “bekerja
secukupnya” akan terus menjadi bentuk perlawanan diam-diam yang sah. (WA/Ow)