WARTAALENGKA,
Cianjur - Dalam diskursus pendidikan global, perdebatan mengenai
jumlah ideal siswa dalam satu kelas terus menjadi topik penting. Selama beberapa
dekade terakhir, ilmuwan pendidikan, psikolog perkembangan, dan pembuat
kebijakan telah berusaha memahami sejauh mana ukuran kelas memengaruhi proses
dan hasil belajar. Dari data yang tersedia, mulai dari studi longitudinal
hingga eksperimen terkontrol, telah terbangun konsensus bahwa ada batas
maksimal jumlah siswa yang mampu mempertahankan kualitas pembelajaran yang
optimal.
Salah
satu studi paling berpengaruh, Tennessee STAR (Student/Teacher Achievement
Ratio), menunjukkan bahwa penurunan jumlah siswa dalam satu kelas secara
signifikan meningkatkan prestasi siswa pada tahap awal pendidikan. Efek ini
tidak bersifat sementara, melainkan berkelanjutan hingga jenjang pendidikan
menengah. Dengan kata lain, investasi awal dalam ukuran kelas yang kecil
berdampak jangka panjang terhadap performa akademik.
Penelitian
oleh Kokkelenberg et al. (2008) di Amerika Serikat terhadap lebih dari 760.000
data mahasiswa menunjukkan bahwa setiap peningkatan ukuran kelas sebesar 10
siswa menurunkan nilai rata-rata GPA secara signifikan. Data ini memperkuat
hipotesis bahwa semakin kecil kelas, semakin besar peluang siswa mendapatkan
atensi individual dari dosen.
Di
tingkat pendidikan dasar dan menengah, hasil yang serupa juga ditunjukkan oleh
meta-analisis Genga-Ayiemba (2025) yang menggabungkan data dari empat negara:
AS, China, Rwanda, dan Inggris. Setiap tambahan siswa dalam kelas menyebabkan
penurunan skor kemampuan literasi dan numerasi. Ini menjadi perhatian utama di
negara berkembang di mana rasio guru-siswa kerap melebihi batas yang
direkomendasikan.
Dari
sisi pedagogi, kelas kecil menciptakan iklim interaktif. Guru mampu mengenal
karakteristik individu siswa, memberi umpan balik yang tepat waktu, dan
mengelola dinamika kelas secara lebih baik. Finn dan Blatchford dalam risetnya
menekankan bahwa siswa dalam kelas kecil lebih aktif bertanya, berdiskusi, dan
menunjukkan keterlibatan emosional yang lebih tinggi terhadap materi.
Sebaliknya,
kelas besar menciptakan efek anonimitas. Siswa merasa kurang diperhatikan,
cenderung pasif, bahkan enggan menunjukkan kebingungan atau pendapat mereka.
Manajemen kelas juga menjadi lebih sulit, terutama dalam konteks pembelajaran
diferensial atau inklusif.
Secara
historis, aturan yang dikenal sebagai "Maimonides’ Rule" telah
menjadi rujukan dalam pengaturan jumlah siswa. Aturan ini menyarankan bahwa
jika kelas melebihi 40 siswa, maka harus dibagi dua. Studi modern mengadaptasi
prinsip ini, menyimpulkan bahwa batas optimal berkisar antara 20 hingga 25
siswa untuk mempertahankan interaktivitas dan kualitas pembelajaran.
Jurnal-jurnal
seperti ScienceDirect dan Emerald Insight telah menerbitkan
berbagai kajian yang menunjukkan bahwa pembelajaran aktif (active learning)
paling efektif diterapkan di kelas dengan maksimal 30 siswa. Di atas angka itu,
diperlukan pendekatan teknologi seperti blended learning untuk mempertahankan
keterlibatan siswa.
Namun,
teknologi pun memiliki batas. Studi pada tahun 2022 oleh CEPR (Centre for
Economic Policy Research) menunjukkan bahwa meskipun blended learning
meningkatkan akses dan fleksibilitas, efektivitasnya dalam membangun koneksi
personal masih kalah dibandingkan interaksi tatap muka dalam kelompok kecil.
Dari
sisi psikologis, kelas kecil juga mendukung perkembangan sosial-emosional
siswa. Keterlibatan guru yang intens menciptakan rasa aman, membangun
kepercayaan diri, dan menumbuhkan empati sosial. Dalam jangka panjang, hal ini
berpengaruh pada pembentukan karakter dan moral siswa.
Penting
untuk dipahami bahwa dampak ukuran kelas tidak homogen di semua konteks. Siswa
dari latar belakang ekonomi rendah cenderung lebih diuntungkan dari kelas kecil
karena mereka membutuhkan lebih banyak perhatian individual. Dengan demikian,
kebijakan pengurangan ukuran kelas juga menjadi instrumen pemerataan
pendidikan.
Bagi
siswa dengan kebutuhan khusus, ukuran kelas menjadi faktor kunci. Pendidikan
inklusif yang berkualitas sangat sulit dicapai bila satu guru harus menangani
35 siswa dengan latar belakang beragam. Kelas kecil memungkinkan penerapan
Individualized Education Plan (IEP) yang efektif.
Rekomendasi
dari sejumlah publikasi akademik menyarankan bahwa pada jenjang TK hingga kelas
3 SD, jumlah siswa ideal adalah di bawah 20. Untuk SD menengah dan SMP,
batasnya adalah 25 siswa, dan untuk SMA serta pendidikan tinggi, 30 siswa
merupakan batas maksimal yang masih memungkinkan interaksi pedagogis optimal.
Lebih
dari sekadar angka, diskusi ini menyentuh pada nilai pendidikan itu sendiri:
apakah kita ingin pendidikan yang bersifat massal dan efisien, atau personal
dan bermakna. Menekan biaya bukan berarti menekan kualitas interaksi manusiawi
yang menjadi inti pendidikan sejati.
Beberapa
kebijakan publik di negara-negara Skandinavia dan Jepang telah mengadopsi
pendekatan kelas kecil dengan hasil yang luar biasa dalam PISA dan indikator
kesejahteraan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan
berbasis sains (evidence-based policy) bukan sekadar jargon, tetapi fondasi
perbaikan sistem.
Lebih
dari itu, pengurangan ukuran kelas juga berdampak pada kesejahteraan guru. Guru
dengan beban murid lebih sedikit melaporkan tingkat stres lebih rendah dan
kepuasan kerja lebih tinggi. Ini menjadi faktor penting dalam retensi guru
berkualitas, terutama di daerah tertinggal.
Di
tengah tekanan global terhadap efisiensi pendidikan, kita tidak boleh
mengabaikan fakta bahwa kualitas pembelajaran sangat ditentukan oleh relasi
antara guru dan siswa. Ukuran kelas adalah instrumen struktural yang bisa
memperkuat atau merusak relasi tersebut.
Dengan
mempertimbangkan hasil berbagai riset, ukuran kelas bukan sekadar angka
administratif, melainkan alat utama untuk memastikan bahwa setiap anak
memperoleh hak atas pendidikan yang layak. Jumlah siswa dalam kelas
mencerminkan pilihan kebijakan: apakah kita sekadar menyelenggarakan
pendidikan, atau sungguh-sungguh mendidik? (WA/Ow)